![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
Penerapan Konsep Pajak Pada Zakat Sebagai Alternatif Pengelolaan Zakat Secara Efektif
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Konteks Penelitian
Indonesia
adalah negara yang beragam budaya dan agama, sehingga kata zakat dan pajak
adalah dua kata yang tidak lepas di negara kita, yang mana negara kita ini
mayoritas penduduk Islam. Tetapi, kedua kata ini memiliki makna dan perlakuan
yang berbeda. Di satu sisi zakat hanya dikenakan kepada orang-orang Muslim yang memiliki harta dengan
persyaratan tertentu. Dan bagi yang tidak mempunyai maka dia akan menjadi orang
yang berhak menerimanya. Dan dalam hal pajak semua warga Negara Indonesia yang
sudah dewasa dan mempunyai penghasilan pada umumnya sudah dikenakan pajak kecil
dan besar tanpa memandang apakah penghasilan itu cukup untuk kebutuhannya atau
tidak. Pajak diwajibkan pada siapapun. Sunggguh perlakuan yang tidak adil,
karena pengemis pun bisa terkena pajak.
Beberapa
ahli ekonomi Islam menganggap zakat merupakan sejenis pajak karena zakat
memenuhi beberapa persyaratan perpajakan (Rahman, 1996: 242), diantaranya:
a. Pembayaran yang diwajibkan;
b. Tidak ada balasan atau
imbalan;
c. Diwajibkan kepada seluruh
masyarakat suatu negara.
![Oval: 1](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image002.gif)
Zakat
dianggap sebagai salah satu dari lima tiang agama Islam dan sudah barang tentu,
posisi yang penting semacam ini tidak dapat diberikan kepada suatu jenis pajak
betapapun pentingnya pajak tersebut. Selanjutnya, pendapatan yang diperoleh
dari pajak oleh pemerintah dapat digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan
tanpa mempertimbangkan besar kecilnya masing-masing pajak. Sedangkan dalam hal
zakat, pemerintah dalam negara Islam diberikan petunjuk khusus dalam kitab suci
Al-Qur’an tentang bagaimana dan di mana membelanjakan hasil yang diperoleh
melalui pengumpulan zakat. Pemerintah tidak mempunyai pilihan tapi harus
membelanjakan hasil pengumpulan zakat itu sebagaimana yang telah disebutkan
dalam kitab suci Al-Qur’an.
Persoalan
di atas salah satu persoalan laten dalam konsep ekonomi Islam yaitu persoalan
dualisme zakat dan pajak yang harus ditunaikan warga negara yang Muslim. Ironisnya,
pajak sebagai sumber penerimaan negara mengalami penguatan, sementara zakat
mengalami kemunduran dan dianggap menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing
individu Muslim.
Di
Indonesia, seorang wajib zakat (muzakki), juga sebagai wajib pajak (taxs payers). Hal ini terlihat jelas
dengan adanya dua kewajiban dalam dua undang-undang yang berbeda, yaitu
kewajiban zakat dalam UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan kewajiban
pajak dalam UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Kedua
undang-undang ini menyatakan bahwa zakat dan pajak adalah kewajiban. Hal inilah
yang dirasakan oleh kaum Muslim sebagai suatu beban yang berat (Gusfahmi, 2007:
7).
Hal
ini pula telah mengundang perdebabatan yang berlarut-larut hampir sepanjang
sejarah Islam itu sendiri. Sebagian besar ulama fiqih memandang bahwa zakat dan
pajak adalah dua entitas yang berbeda dan tidak mungkin dipersatukan. Menurut
mereka, zakat adalah kewajiban spiritual seorang Muslim terhadap Tuhannya,
sedangkan pajak adalah kewajibannya terhadap negara.
Dari
segi pengelolaan, zakat dan pajak mempunyai pengelolaan yang berbeda. Akan
tetapi yang menjadi catatan penting dalam hal ini setidaknya pengelolaan zakat
ini mengikuti keberhasilan pengelolaan pajak. Pengelolaan pajak di Indonesia
terbilang sukses, adapun faktor yang menunjang keberhasilan tersebut, yakni
administrasi pajak yang tentunya harus efisien dan efektif. Menurut Ciptoherijanto
dan Abidin dalam Abdalla (2010: 8-9) administrasi pajak yang baik harus
meliputi tiga aspek, yaitu:
1.
Fungsi, administrasi pajak sebagai fungsi
meliputi fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan.
2.
Sistem, administrasi pajak sebagai suatu
sistem adalah merupakan seperangkat unsur yang saling berkaitan, yang berfungsi
bersama-sama untuk mencapai tujuan atau menyelesaikan suatu proses tertentu.
3.
Lembaga, sebagai suatu lembaga administrasi
pajak meliputi badan-badan yang secara khusus menangani masalah perpajakan.
Berbeda
halnya dengan pengelolaan zakat di Indonesia yang terbilang masih rendah
kinerjanya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor (Anida, 2010: 2-3), yaitu:
1.
Rendahnya penghimpunan
dana zakat melalui Lembaga Amil Zakat, karena perilaku wajib zakat (muzakki) yang masih karikatif, yaitu berorientasi jangka pendek.
2.
Masih rendahnya efesien dan efektivitas tasharuf (pendayagunaan) dana zakat terkait masih
besarnya jumlah Organisasi Pengelola Zakat dengan skala usaha yang kecil.
3.
Lemahnya zakat karena ketiadaan lembaga regulator
pengawas dan tidak jelasnya relasi zakat.
4.
Lemahnya kapasitas kelembagaan dan Sumber Daya Manusia
bidang zakat.
Sedangkan menurut Nuruddin (2010: 133) rendahnya kinerja pengelolaan zakat
disebabkan pengelolaan zakat belum digarap secara serius dan profesional oleh
pemerintah dengan perangkat aturan sesuai kecenderungan dan tuntutan daerah.
Pengumpulan zakat hendaknya atau seharusnya merupakan
sesuatu yang terprogram dan terencana, termasuk ditentukan jadwalnya dengan
jelas, dan tetap berlandasan untuk beribadah kepada Allah SWT dengan ikhlas. Dalam
penanganan zakat ini, perlu dicamkan bahwa para pembayar zakat hendaknya
mengetahui ke mana harta zakatnya itu dibagikan dan dimanfaatkan. Badan Amil
Zakat (BAZ) harus mempunyai dokumen dan data atau pembukuan yang rinci mengenai
jumlah uang zakat yang diterima, orang yang membayarnya, kemana digunakan dan
semacamnya. Sehingga sewaktu-waktu salah satu pembayar zakat ingin tahu data
rinci mengenai zakatnya, BAZ bisa memberi jawaban dengan memuaskan.
Zakat hendaknya tidak sekedar konsumtif, maka otomatis
idealnya dijadikan sumber Dana Umat. Penggunaan zakat untuk konsumtif hanyalah
untuk hal-hal yang bersifat darurat. Artinya, ketika ada mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) yang tidak mungkin
untuk dibimbing untuk mempunyai usaha mandiri atau memang untuk kepentingan
mendesak, maka penggunaan konsumtif dapat dilakukan. Dana zakat akan lebih
cepat digunakan untuk mengentaskan umat dari kemiskinan jika dikelola untuk
menjadi sumber dana yang penggunannya sejak dari awal, seperti pelatihan,
sampai dengan modal usaha. Bahkan mestinya perlu ada dana riset atau survey dan
pengembangan serta dana administrasi (Azizy, 2004: 148-149).
Pada survey di atas menunjukkan salah satu faktor yang
menyebabkan pengelolaan dana zakat yang kurang efektif adalah tidak terprogram
dan terencana dengan baiknya dana zakat, kemudian dari segi pengelolaan dana
zakat yang terbilang masih rendah bila dibandingkan dari pengelolaan pajak karena
pengelolaan pajak telah mempunyai fungsi, sistem dan lembaga yang benar-benar
telah terstruktur dan dilaksanakan dengan baik.
Berdasarkan
uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Penerapan Konsep Pajak Pada Zakat Sebagai
Alternatif Pengelolaan Zakat Secara Efektif.”
1.2 Fokus Penelitian
1. Apa persamaan dan perbedaan
antara konsep zakat dan konsep pajak ?
2. Bagaimana pendapat/pemikiran
ulama tentang penerapan zakat dan pajak ?
3. Bagaimana pengelolaan dana
zakat yang efektif dengan penerapan konsep pajak ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan
penelitian adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui lebih jelas lagi mengenai persamaan
dan perbedaan antara konsep zakat dan konsep pajak.
2.
Untuk mengetahui pendapat ulama tentang penerapan
zakat dan pajak.
3.
Untuk mengetahui mengenai pengelolaan dana zakat yang
efektif dengan penerapan konsep pajak.
1.4 Kegunaan Penelitian
Adapun
manfaat diadakannya penelitian adalah sebagai berikut :
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini menjadi sebuah media
untuk menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku perkuliahan dalam rangka
memecahkan masalah secara ilmiah.
2. Bagi Fakultas
Sebagai
sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta untuk mengevaluasi sejauh
mana sistem pendidikan telah dijalankan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan masukan untuk membantu
memberikan gambaran yang lebih jelas bagi para peneliti yang ingin melakukan
penelitian khususnya mengenai akuntansi syariah.
1.5 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan konteks
penelitian, fokus penelititan, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini
mengemukakan teori-teori yang mendukung penelitian, yaitu teori-teori yang
berkaitan dengan konsep zakat dan konsep pajak serta menjelaskan penerapan
zakat dan pajak pada masa Rasulullah SAW, masa Khulafaurrasyidin dan Di
Indonesia, serta pendapat para ulama tentang penerapan zakat dan pajak. Di samping itu, bab ini
juga memuat kerangka pikir dari peneliti.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan rancangan
penelitian, jenis dan sumber data,
teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisikan pembahasan atas
rumusan masalah dalam skripsi ini, yaitu mengenai persamaan dan perbedaan
antara konsep zakat dan konsep pajak, pendapat/pemikiran Ulama tentang
penerapan zakat dan pajak dan pengelolaan dana zakat yang efektif dengan
penerapan konsep pajak.
BAB V
PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan dan saran
atas penelitian yang telah dilakukan.
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image003.gif)
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Zakat
2.1.1
Sejarah dan Landasan Filosofis Zakat
Menurut Basyir,
zakat sudah pernah dilaksanakan sebelum kedatangan agama Islam. Kegiatan yang
dilakukan yang berbentuk seperti zakat telah dikenal di kalangan bangsa-bangsa
Timur kuno di Asia, khususnya di kalangan umat beragama. Hal ini terjadi atas
adanya pandangan hidup di kalangan bangsa-bangsa Timur bahwa meninggalkan
kesenangan duniawi merupakan perbuatan terpuji dan bersifat kesalehan.
Sebaliknya, memiliki kekayaan duniawi akan menghalangi orang untuk memperoleh
kebahagiaan hidup di surga. Dalam syariat Nabi Musa AS, zakat sudah dikenal,
tetapi hanya dikenakan terhadap kekayaan yang berupa binatang ternak, seperti
sapi, kambing, dan unta. Zakat yang wajib dikeluarkan adalah 10 persen
dari nisab yang ditentukan (http://jakarta45.wordpress.com).
![Oval: 8](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image004.gif)
Menurut
Shihab dalam ada 3 landasan kewajiban filosofis zakat
(http://nasional.inilah.com), yaitu:
1.
Istikhlaf (penugasan sebagai
khalifah di bumi). Allah SWT adalah pemilik seluruh alam raya dan segala
isinya, termasuk pemilik harta benda. Seseorang yang beruntung memperolehnya,
pada hakikatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan
dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemilik-Nya (Allah SWT). Manusia yang dititipi
itu, berkewajiban memenuhi ketetapan-ketetapan yang digariskan oleh Sang
Pemilik, baik dalam pengembangan harta maupun dalam penggunaannya. Zakat
merupakan salah satu ketetapan Tuhan menyangkut harta, bahkan shadaqah dan
infaq pun demikian. Sebab, Allah SWT menjadikan harta benda sebagai sarana
kehidupan untuk umat manusia seluruhnya. Karena itu, harta benda harus
diarahkan guna kepentingan bersama.
2.
Solidaritas sosial. Manusia adalah
mahluk sosial. Kebersamaan antara beberapa individu dalam suatu wilayah membentuk
masyarakat yang walaupun berbeda sifatnya dengan individu-individu tersebut,
namun manusia tidak bisa dipisahkan darinya. Manusia tidak dapat hidup tanpa
masyarakatnya. Sekian banyak pengetahuan diperolehnya melalui masyarakatnya
seperti bahasa, adat istiadat, sopan santun dan lain-lain. Demikian juga dalam
bidang material yang diperolehnya berkat bantuan pihak-pihak lain baik secara
langsung dan disadari maupun tidak. Manusia mengelola, tetapi Tuhan yang
menciptakan dan memilikinya. Dengan demikian, wajar jika Allah SWT
memerintahkan untuk mengelurakan sebagian kecil (zakat) dari harta yang
diamanatkan-Nya kepada seseorang itu demi kepentingan orang lain.
3.
Persaudaraan. Manusia berasal dari
satu keturunan, antara seseorang dengan lainnya terdapat pertalian darah, dekat
atau jauh. Pertalian darah tersebut akan menjadi lebih kokoh dengan adanya
persamaan-persamaan lain, yaitu agama, kebangsaan, lokasi domisili dan
sebagainya. Disadari oleh kita semua, bahwa hubungan persaudaraan menuntut
bukan sekadar hubungan take and give (mengambil
dan menerima), atau pertukaran manfaat, tetapi melebihi itu semua, yakni
memberi tanpa menanti imbalan atau membantu tanpa dimintai bantuan. Apalagi,
jika mereka hidup bersama dalam satu lokasi. Nah, kebersamaan dan persaudaraan
inilah yang mengantarkan kepada kesadaran menyisihkan sebagian harta kekayaan
khususnya kepada mereka yang butuh, baik dalam bentuk kewajiban zakat, maupun
shadaqah dan infaq.
2.1.2
Pengertian dan Prinsip
Zakat
Hafidhuddin
(2002: 7) mengartikan zakat yang dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Menurut bahasa, kata zakat mempunyai beberapa
arti, yaitu al-barakatu ‘kebersihan’,
al-namaa ‘pertumbuhan dan
perkembangan’, ath-thaharatu
‘kesucian’, dan ash-shalabu
‘keberesan’.
b.
Menurut istilah, meskipun para ulama mengemukakannya
dengan redaksi yang agak berbeda antara satu dan yang lainnya, akan tetapi pada
prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan
tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada
yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam exprosure draft PSAK Syariah No.109
“Zakat adalah harta yang wajib
dikeluarkan oleh muzakki sesuai
dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq)”.
Sedangkan menurut Chapra (1999:
292)
“Zakat adalah suatu tanda yang jelas dan tegas dari kehendak Tuhan untuk
menjamin bahwa tidak seorang pun menderita kekurangan sarana untuk memenuhi
kebutuhan pokoknya akan barang dan jasa”.
Menurut Muhammad (2009:
55):
“Zakat merupakan harta
yang diambil dari amanah harta yang dikelola oleh orang kaya, yang ditransfer
kepada kelompok fakir dan miskin serta kelompok lain yang telah ditentukan
dalam Al-Qur’an, yang lazim disebut kelompok mustahik. Dalam istilah
ekonomi, zakat merupakan tindakan transfer
of income (pemindahan kekayaan) dari golongan kaya (agniya/the have) kepada golongan yang tidak berpunya (the have not).”
Bila
seseorang memperhatikan ketentuan dan paraturan mengenai zakat dengan teliti,
maka akan mudah baginya untuk mendapatkan enam prinsip syariat yang mengatur zakat (Mannan,
1997: 257-259), yaitu:
a.
Prinsip keyakinan, karena membayar zakat
adalah suatu ibadat dan dengan demikian hanya seorang yang benar-benar
berimanlah yang dapat melaksanakannya dalam arti dan jiwa yang sesungguhnya.
b.
Prinsip keadilan, makin berkurang jumlah
pekerjaan dan modal maka makin berkurang pula tingkat pungutan.
c.
Prinsip produktivitas, nisab berlaku pada
zakat hanya bila telah sampai waktunya dan produktif.
d.
Prinsip nalar, yaitu orang yang diharuskan
membayar zakat adalah seseorang yang berakal dan bertanggung jawab.
e.
Prinsip kemudahan, kemudahan zakat diperoleh
sebagian dari sifat pemungutan zakat dan sebagian diperoleh dari hukum islam
tentang erika ekonomi.
f.
Prinsip kemerdekaan, yaitu seseorang harus
menjadi manusia bebas sebelum dapat disyaratkan untuk membayar zakat. Karena
itu, seorang budak atau tawanan tidak diharuskan membayar zakat bila ia
dianggap tidak memiliki sesuatu harta.
2.1.3
Yang Wajib Berzakat dan Kelompok Penerima
Zakat
Di
dalam pelaksanaan zakat, yang diwajibkan berzakat adalah orang Islam yang
memiliki kekayaan yang cukup nisab dalam hal ini mereka disebut muzakki. Sebagaimana
firman Allah
SWT:
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image006.jpg)
Artinya:
“Sungguh, orang-orang yang beriman,
mengerjakan kebajikan, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, mereka
mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka
tidak bersedih hati” (QS Al Baqarah: 277).
Dan
orang yang berhak menerima zakat dalam istilah fiqih disebut mustahiq (Al-Habsyi,
1999: 305), terdiri atas delapan golongan yang tercakup dalam firman Allah SWT
:
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image008.jpg)
Artinya:
”Sesungguhnya zakat
itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat,
yang dilunakkan hatinya (muallaf) untuk
(memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiaban
dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS
At-Taubah: 60).
Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Fakir, yaitu mereka yang
tidak berhasil memperoleh keperluan pokok hidupnya, untuk dirinya sendiri dan
keluarga yang wajib dinafkahinya. Sebagian ahli fiqih menyatakan bahwa orang
disebut fakir, apabila tidak berhasil memperoleh lebih dari 50% kebutuhan
pokoknya (Al-Habsyi, 1999: 305-306).
2. Miskin. Pengertian miskin
yang dikemukakan oleh Imam Malik dalam Djazuli (2003: 347-348) adalah “orang
yang untuk memenuhi keperluan hidupnya tidak segan-segan meminta bantuan orang
lain”.
3. Amil (Petugas pengumpul dan
penyalur zakat), yaitu mereka yang ditunjuk oleh pemerintah Muslim setempat
sebagai petugas-petugas pengumpul dan penyalur zakat dari para muzakki
(pembayar zakat), termasuk pula para pencatat, penjaga keamanan dan petugas
penyalur kepada para mustahiq (Al-Habsyi, 1999: 306). Akan tetapi perlu diingat
ongkos administrasi tersebut harus lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan
yang diperoleh dari zakat (Metwally, 1995: 8).
4. Muallaf, yang dimaksud
dengan muallaf adalah orang-orang yang perlu dijinakkan (dilunakkan) hatinya,
dengan memberi mereka sebagian dari harta zakat, agar tertarik kepada agama Islam,
atau demi memantapkan keimanannya, atau ‘membeli’ kesetiaannya agar menjaga
keamanan kaum Muslim atau mencegah kejahatannya terhadap masyarakat Muslim (Al-Habsyi,
1999: 307).
5. Untuk keperluan pembebasan
kaum tertindas. Di masa lalu, ketika perbudakan masih berlaku di seluruh dunia
bagian ini disediakan dalam upaya pembebasan para budak. Di masa sekarang,
bagian ini dapat disalurkan kepada umat Islam di seluruh dunia yang masih
menderita di bawah tekanan perbudakan bangsa-bangsa asing hampir di seluruh
aspek kehidupan (Al-Habsyi, 1999: 308).
6. Al-Gharimin (Orang-orang
yang terhimpit hutang). Mereka yang terhimpit hutang, dibagi menjadi dua
bagian:
a. Pertama, mereka yang pernah
berhutang dari orang lain untuk menutup kebutuhan hidup dan kini disebabkan
kemiskinan yang sangat, tidak mampu membayar kembali hutangnya.
b. Kedua, mereka yang biasanya
berasal dari tokoh-tokoh pemuka masyarakat, yang berupaya menjadi penengah antara
dua kelompok masyarakat yang bertengkar akibat harta atau tuntutan yang
dipertikaikan di antara mereka. Lalu, para pemuka ini, membebani dirinya dengan
memberikan sejumlah tertentu jaminan keuangan, demi memadamkan api permusuhan
seperti itu.
7. Fi Sabilillah, adalah para
sukarelawan yang berjuang dalam peperangan membela agama dan negara dari
serbuan tentara asing.
8. Ibnu Sabil, secara harfiah
arti ibnu sabil adalah ‘anak jalanan’ yang tidak mempunyai rumah untuk
ditinggali. Atau orang yang terpaksa lebih sering dalam perjalanan jauh dari
kota tempat tinggalnya demi memenuhi nafkah hidupnya. Termasuk dalam kategori
ini, musafir yang kebetulan kehabisan ongkos di tengah perjalanannya, sehingga
memerlukan bantuan keuangan (Al-Habsyi, 1999: 312).
Menurut
Al-Ba’ly (2006: 68), delapan golongan yang berhak atas hasil zakat terbagi lagi
menjadi dua bagian di antaranya:
1. Golongan yang mengambil hak
zakat untuk menutup kebutuhan mereka, seperti fakir, miskin, hamba sahaya dan ibnu
sabil.
2. Golongan yang mengambil hak
zakat untuk memanfaatkan harta tersebut, seperti pegawai zakat, muallaf, orang
yang mempunyai banyak utang untuk kepentingan yang berpiutang, perang di jalan
Allah SWT.
2.1.4
Jenis Zakat
Menurut
Ash Shiddieqy (2006: 9-10) secara garis besar zakat terbagi dua, yaitu:
1.
Zakat
Mal (harta): emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan (buah-buahan dan
biji-bijian) dan barang perniagaan.
2.
Zakat
Nafs, zakat jiwa yang disebut juga “Zakatul Fitrah” (zakat yang diberikan
berkenaan dengan selesainya mengerjakan shiyam (puasa) yang difardhukan). Di negeri kita ini, lazim disebut fitrah. Para ulama
telah membagi zakat fitrah, kepada dua bagian pula :
a.
Zakat
harta yang nyata (harta yang lahir) yang terang dilihat umum, seperti:
binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan dan barang logam.
b.
Zakat
harta-harta yang tidak nyata, yang dapat disembunyikan. Harta-harta yang tidak
nyata itu, ialah: emas, perak, rikaz, dan barang perniagaan.
Menurut
Nurhayati dan Wasilah (2009: 274-275) ada dua jenis zakat, yaitu:
1.
Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah zakat yang
diwajibkan kepada setiap Muslim setelah matahari terbenam akhir bulan Ramadhan.
2.
Zakat Harta
Zakat harta adalah zakat yang boleh
dibayarkan pada waktu yang tidak tertentu, mencakup hasil perniagaan,
pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak
serta hasil kerja (profesi) yang masing-masing memiliki perhitungan
sendiri-sendiri.
Sementara
itu, menurut Arizta (2011) dan Bamz (2011) zakat dapat dibagi dalam dua jenis,
yaitu:
1.
Zakat
fitrah yaitu zakat untuk membersihkan diri yang dibayarkan setiap bulan
Ramadhan. Zakat ini wajib dikeluarkan orang Muslim menjelang Idul Fitri.
Besarnya zakat fitrah yang harus dikeluarkan per individu adalah satu sha’ yang
setara dengan 2,5 kilogram atau dengan 3,5 liter beras makanan pokok yang ada
di daerah pemberi zakat atau yang bersangkutan. Zakat ini diberikan kepada
delapan golongan yang berhak menerima zakat. Menurut beberapa ulama khusus
untuk zakat fitrah mesti didahulukan kepada dua golongan, yakni fakir dan
miskin.
2.
Zakat
maal merupakan zakat atas harta kekayaan. Meliputi hasil perniagaan atau
perdagangan, pertambangan, pertanian, hasil laut dan hasil ternak, harta
temuan, emas dan perak serta hasil kerja (profesi). Masing-masing jenis
mempunyai perhitungan yang berbeda-beda. Adapun jenis-jenis zakat maal, yaitu:
a.
Zakat
emas dan perak. Nishab emas adalah 20 dinar (setara dengan 85 gram emas murni).
Sedangkan nishab perak adalah 200 dirham (setara dengan 672 gram perak). Ini
berarti, jika Anda memiliki emas sebesar 20 dinar selama satu tahun, maka emas
tersebut harus dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5%. Aturan serupa berlaku pula
untuk perak, jika telah mencapai nishab 200 dirham dan waktu kepemilikannya
telah satu tahun, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5%.
b.
Zakat
harta berharga lainnya. Misalnya uang tunai, tabungan, saham, obligasi dan
lain-lain). Besarnya zakat yang harus dikeluarkan dan syarat-syaratnya sama
seperti zakat emas dan perak.
c.
Zakat
profesi/penghasilan yaitu zakat yang dikeluarkan dari hasil profesi seseorang
sebesar 2,5 %.
d.
Zakat
tabungan adalah uang yang telah disimpan selama 1 tahun dan mencapai nilai
minimum (nisbah) setara 85 gram emas, zakat yang wajib dikeluarkan sebesar
2,5%.
e.
Zakat
investasi adalah zakat yang dikenakan terhadap harta yang diperoleh dari hasil
investasi (seperti: bangunan atau kendaraan yang disewakan) besarnya 5% untuk
penghasilan kotor dan 10% untuk penghasilan bersih.
f.
Zakat
perniagaan adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil perniagaan. Ketentuanya,
berjalan 1 tahun nisbah senilai 85 gram emas besar zakatnya 2,5% dapat dibayar
dengan uang atau barang perdagangan maupun perseroan.
Lebih
lanjut menurut Arian (2011) ada dua jenis zakat, yaitu:
1.
Zakat fitrah/fidyah, zakat nafs
(jiwa), disebut juga zakat fitrah. Zakat fitrah adalah zakat pribadi yang harus
dikeluarkan pada bulan Ramadhan sebelum shalat Idul Fitri. Besarnya zakat
fitrah menurut ukuran sekarang adalah 2,176 kilogram. Sedangkan makanan yang
wajib dikeluarkan yang disebut nash hadits yaitu tepung, terigu, kurma, gandum,
zahib (anggur) dan aqith (semacam keju). Untuk daerah/negara yang makanan
pokoknya selain 5 makanan di atas, mazhab Maliki dan Syafi'i membolehkan
membayar zakat dengan makanan pokok yang lain. Pembayaran zakat fitrah menurut
jumhur ulama, yaitu:
a.
Waktu wajib membayar zakat fitrah
yaitu ditandai dengan tenggelamnya matahari
di akhir bulan Ramadhan.
b.
Membolehkan mendahulukan pembayaran
zakat fitrah di awal. Bagi yang tidak berpuasa Ramadhan karena udzur tertentu
yang dibolehkan oleh syaria't dan mempunyai kewajiban membayar fidyah, maka
pembayaran fidyah sesuai dengan lamanya seseorang tidak berpuasa.
2.
Zakat maal (harta) adalah sejumlah
harta benda tertentu yang wajib dikeluarkan guna membersihkan kekayaan dan
menyucikan pemiliknya. Syarat-syarat kekayaan yang wajib di zakati:
a.
Milik penuh. Artinya, harta tersebut
berada dalam kontrol dan kekuasaanya secara penuh, dan dapat diambil manfaatnya
secara penuh.
b.
Berkembang. Artinya, harta tersebut
dapat bertambah atau berkembang bila diusahakan atau mempunyai potensi untuk
berkembang.
c.
Cukup nishab. Artinya, harta
tersebut telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan syara'.
Sedangkan harta yang tidak sampai nishabnya terbebas dari zakat dan dianjurkan
mengeluarkan Infaq serta Shadaqah.
d.
Lebih dari kebutuhan pokok. Kebutuhan
pokok adalah kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarga yang
menjadi tanggungannya, untuk kelangsungan hidupnya. Artinya, apabila kebutuhan
tersebut tidak terpenuhi yang bersangkutan tidak dapat hidup layak.
e.
Bebas dari hutang. Orang yang mempunyai
hutang sebesar atau mengurangi senishab yang harus dibayar pada waktu yang sama
(dengan waktu mengeluarkan zakat), maka harta tersebut terbebas dari zakat.
f. Berlalu satu tahun (Al-Haul). Maksudnya adalah bahwa
pemilikan harta tersebut sudah berlalu (mencapai) satu tahun. Persyaratan ini
hanya berlaku bagi ternak, harta simpanan dan perniagaan. Sedangkan hasil
pertanian, buah-buahan dan rikaz (barang temuan) tidak ada syarat haul.
Adapun
pengertian zakat fitrah menurut Kurnia dan A. Hidayat (2008: 342):
Zakat fitrah adalah
zakat pribadi yang diwajibkan atas diri setiap Muslim yang memiliki
syarat-syarat yang ditetapkan yang ditunaikan pada bulan Ramadhan sampai
menjelang shalat sunah Idul Fitri. Zakat fitrah mulai diwajibkan pada bulan
Sya’ban tahun kedua Hijriyah, yaitu tahun diwajibkan puasa Ramadhan. Zakat
fitrah mulai diwajibkan bertujuan menyucikan orang yang berpuasa dari ucapan
kotor dan perbuatan yang tidak berguna, dan memberi makan orang-orang miskin
dan mencukupi kebutuhan mereka pada hari raya Idul Fitri.
Menurut Ja’far (1997: 63) zakat
fitrah berfungsi mengembalikan manusia Muslim kepada fitrahnya, dengan
mensucikan jiwa mereka dari dosa-dosa yang disebabkan oleh pengaruh pergaulan
dan sebagainya, sehingga manusia itu menyimpan dari fitrahnya.
Di
sisi lain, menurut Qardhawi (1995: 89) zakat fitrah mengandung dua hikmah,
yaitu:
a. Untuk memulihkan puasa
seseorang yang barang kali dirusak oleh perbuatan sia-sia dan omongan kotor.
b. Untuk memuliakan kaum papa
dan menunjukkan perhatian masyarakat Muslim terhadap mereka di hari lebaran.
Menurut
Muhammad (2008: 433) sesuatu dapat disebut dengan harta apabila memenuhi dua
syarat, yaitu:
a. Dapat dimiliki, disimpan,
dihimpun dan dikuasai.
b. Dapat diambil manfaatnya
sesuai dengan ghalibnya. Misalnya, rumah, mobil, ternak, hasil pertanian, uang,
emas, perak, dan lain sebagainya.
2.1.5
Pengelolaan Zakat
Menurut
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan
dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan
zakat. Adapun tujuan pengelolaan zakat meliputi hal-hal berikut:
a. Meningkatkan kesadaran
masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat sesuai dengan
tuntutan agama.
b. Meningkatkan fungsi dan
peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
keadilan sosial.
c. Meningkatkan hasil guna dan
daya guna zakat.
2.1.6
Hikmah Zakat
Menurut Rifa’i (1999: 370) zakat mengandung beberapa
hikmah, baik bagi perseorangan maupun masyarakat. Di antara hikmah dan faedah
zakat itu adalah :
a.
Mendidik jiwa manusia suka berkorban dan
membersihkan jiwa dari sifat-sifat kikir dan bakhil.
b.
Zakat mengandung arti rasa persamaan yang
memikirkan nasib manusia dalam suasana persaudaraan.
c.
Zakat memberi arti bahwa manusia itu bukan
hidup untuk dirinya sendiri, sifat mementingkan diri sendiri harus disingkirkan
dari masyarakat Islam.
d.
Seorang Muslim harus mempunyai sifat-sifat
baik dalam hidup perseorangan, yaitu murah hati dan penyayang.
e.
Zakat dapat menjaga timbulnya rasa dengki,
iri hati, dan menghilangkan jurang pemisah antara si miskin dan si kaya.
f.
Zakat bersifat sosialitas, karena meringankan
beban fakir miskin dan meratakan nikmat Allah SWT yang diberikan kepada
manusia.
2.2
Penerapan
Zakat
2.2.1
Zakat Pada Masa Rasulullah SAW
Kehidupan
Rasulullah SAW dan masyarakat Muslim di masa beliau adalah teladan yang paling
baik implementasi Islam, termasuk dalam bidang ekonomi. Meskipun pada masa
sebelum kenabian Muhammad adalah seorang pebisnis, tetapi yang dimaksudkan
perekonomian di masa Rasulullah SAW di sini adalah pada masa Madinah. Pada
periode Makkah masyarakat Muslim belum sempat membangun perekonomian, sebab
masa itu penuh dengan perjuangan untuk mempertahankan diri dari intimidasi
orang-orang Quraisy. Barulah pada periode Madinah, Rasulullah SAW memimpin
sendiri membangun masyarakat Madinah sehingga menjadi masyarakat sejahtera
beradab. Meskipun perekonomian pada masa beliau relatif masih sederhana, tetapi
beliau telah menunjukkan prinsip-prinsip yang mendasar bagi pengelolaan
ekonomi. Karakter umum dari perekonomian pada masa itu adalah komitmennya yang
tinggi terhadap etika dan norma, serta perhatiannya yang besar terhadap
keadilan dan pemerataan kekayaan. Usaha-usaha ekonomi harus dilakukan secara
etis dalam bingkai syariah Islam, sementara sumber daya ekonomi tidak boleh
menumpuk pada segilintir orang melainkan harus beredar bagi kesejahteraan
seluruh umat. Pasar menduduki peranan penting sebagai mekanisme ekonomi, tetapi
pemerintah dan masyarakat juga bertindak aktif dalam mewujudkan kesejahteraan
dan menegakkan keadilan (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, 2008:
98)
Kegiatan
ekonomi pasar relatif menonjol pada masa itu, di mana untuk menjaga agar
mekanisme pasar tetap berada dalam bingkai etika dan moralitas Islam,
Rasulullah SAW mendirikan Al-Hisbah. Al-Hisbah adalah institusi yang bertugas
sebagai pengawas pasar (market controller).
Rasulullah SAW juga membentuk Baitul Maal, sebuah institusi yang bertindak
sebagai pengelola keuangan negara. Baitul Maal ini memegang peranan yang sangat
penting bagi perekonomian, termasuk dalam melakukan kebijakan yang bertujuan
untuk kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya untuk memutar roda perekonomian,
Rasulullah SAW mendorong kerja sama usaha di antara anggota masyarakat
(misalnya muzaraah, mudharabah, musaqah dan
lain-lain) sehingga terjadi peningkatan produktivitas. Sejalan dengan
perkembangan masyarakat Muslim, maka penerimaan negara juga meningkat. Sumber
pemasukan negara berasal dari beberapa sumber, tetapi yang paling pokok adalah
zakat dan ushr (Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Ekonomi Islam, 2008: 98-99).
Zakat
dan Ushr (sedekah) walaupun sudah diwajibkan sejak tahun ke-2 Hijriyah, namun
baru bisa dipungut sebatas zakat fitrah yang ditunaikan setiap bulan Ramadhan,
kewajiban atas zakat mal (harta) masih bersifat sukarela. Efektif pelaksanaan
zakat mal baru terwujud pada tahun ke-9 Hijriyah. Ketika Islam telah kokoh,
wilayah negara meluas dengan cepat dan orang berbondong-bondong masuk Islam. Peraturan
yang disusun meliputi sistem pengumpulan zakat, batas-batas zakat, dan tingkat
persentase zakat untuk barang yang berbeda-beda serta sistem penentuan pengggajian
(hak-hak) amil zakat (Gusfahmi, 2007: 60).
Menurut
Gusfahmi (2007: 60) pada masa
Pemerintahan Rasulullah SAW, zakat dikenakan pada hal-hal (objek zakat) berikut:
1.
Benda logam yang terbuat dari emas seperti
koin, perkakas, ornamen atau bentuk lainnya.
2.
Benda logam yang terbuat dari perak, seperti
koin, perkakas, ornamen atau bentuk lainnya.
3.
Binatang ternak onta, sapi, domba dan kambing.
4.
Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak
dan hewan.
5.
Hasil pertanian termasu buah-buahan (ushr).
6.
Luqathah, harta benda yang ditinggalkan
musuh.
7.
Barang temuan.
Zakat
emas dan perak ditentukan berdasarkan beratnya. Binatang ternak yang
digembalakan secara bebas ditentukan berdasarkan jumlahnya. Barang dagangan,
barang tambang, dan luqathah ditentukan berdasarkan nilai jualnya serta hasil
pertanian dan buah-buahan ditentukan berdasarkan kuantitasnya. Berkaitan dengan
hal ini, Rasulullah SAW telah menetapkan nisab, yakni batas terendah dari
kuantitas atau nilai dari suatu barang dan jumlah dari tiap jenis binatang
ternak (Karim, 2008: 47).
Pemerintahan
Islam yang dibangun Rasulullah SAW setelah beliau berhijrah bersama sahabatnya
di Madinah mengundang-undangkan zakat secara formal kepada rakyat. Harta-harta
diberi kategori tertentu hingga dikenakan kewajiban zakat (Mujahidin, 2007: 63).
Artinya, tidak semua harta mutlak dikenakan zakat. Di antara syarat dan
kategori itu adalah:
1.
Al-Milk
al-Tamn;
harta tersebut haruslah sempurna milik seseorang.
2.
Al-Nama’; harta
produktif yang dapat ditumbuh kembangkan, bukan harta mati.
3.
Bulugh
al-Nishab;
telah memenuhi limit dan kadar tertentu.
4.
Al-Fadhl
‘an al Hawa’ij al-Ashliyyah; surplus dari kebutuhan pokok.
5.
Al-Salamah
min al-Duyun; tidak terkait pada utang.
6.
Hulul
al-Haulan; telah mencapai batas waktu tertentu (1
tahun).
Selain
objek zakat dan syarat/kategori yang diatur Rasulullah SAW mengenai zakat,
sistem manajemen zakat pun telah diatur pada masa beliau.
Menurut
Nasution et al. (2006: 214) pada
zaman Rasulullah SAW, sistem manajemen zakat yang dilakukan oleh amil dibagi
menjadi bebebrapa bagian, yaitu:
1.
Katabah, petugas
untuk mencatat para wajib zakat.
2.
Hasabah, petugas
untuk menaksir, menghitung zakat.
3.
Jubah, petugas
untuk menarik, mengambil zakat dari para muzakki.
4.
Kahazanah, petugas
untuk menghimpun dan memelihara harta zakat.
5.
Qasamah, petugas
untuk menyalurkan zakat kepada mustahiq.
2.2.2 Zakat Pada Masa Khulafaurrasyidin
2.2.2.1 Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq
Pengangkatan
Abu Bakar menggantikan Nabi Muhammad SAW menjadi masalah bagi kaum Muhajirin
dan Ansor (konflik internal) serta munculnya pemberontakan untuk memisahkan
diri dari pemerintahan Madinah. Para pemberontak berasal dari dua kelompok,
kelompok pertama terdiri dari mereka yang kembali balik menyembah berhala di
bawah pimpinan Musailamah, Tulaihah, Sajah, dan lain-lain. Kelompok kedua tidak
menyatakan permusuhan terhadap Islam tetapi hanya memberontak kepada negara. Mereka
menolak membayar zakat dengan dalih bahwa pembayaran itu hanya sah kepada Nabi,
satu-satunya orang yang mereka siap membayarnya. Berdasarkan pada kondisi di
atas maka langkah pertama yang dilakukan selama pemerintahan Abu Bakar adalah
menumpas pembangkang suku-suku Arab di dalam negeri melalui peperangan yang
disebut perang Riddah (perang melawan kemurtadan) baru melakukan perluasan
wilayah (Nasution et al., 2006: 233).
Dalam
kekhalifahannya Abu Bakar sangat memperhatikan keakuratan penghitungan zakat sehingga
tidak terjadi kelebihan atau kekeurangan pembayaran. Hasil pengumpulan zakat
tersebut dijadikan sebagai pendapatan negara dan disimpan dalam Baitul Maal
untuk langsung didistribusikan seluruhnya kepada kaum Muslimin hingga tidak ada
yang tersisa. Dalam mendistibusikan harta ini, Abu Bakar menerapkan prinsip
kesamarataan, yakni memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat Rasulullah
SAW dengan tidak membedakan antara sahabat yang lebih dulu memeluk Islam dengan
sahabat yang kemudian, antara hamba dengan orang merdeka, dan antara pria
dengan wanita. Menurutnya dalam hal keutamaan beriman, Allah SWT akan
memberikan ganjarannya sedangkan dalam masalah kebutuhan hidup, prinsip
kesamaan lebih baik daripada prinsip keutamaan (Kara et al., 2009: 26).
2.2.2.2
Khalifah Umar bin Khattab
Umar memerintah hanya selama sepuluh tahun, akan
tetapi dalam periode yang singkat itu banyak kemajuan yang dialami umat Islam,
kalau boleh dikatakan pemerintahan Umar merupakan abad keemasan dalam sejarah
Islam. Dalam aspek ekonomi, sistem ekonomi yang dikembangkan berdasarkan kepada
keadilan dan kebersamaan dan disinilah letak ketinggian ajaran Islam. Sistem
tersebut didasarkan pada prinsip pengambilan sebagian kekayaan orang-orang kaya
untuk dibagikan kepada orang miskin (Nasution et al., 2006: 234).
Beberapa
kontribusi yang diberikan Umar pada masa pemerintahannya antara lain:
1. Reorganisasi Baitul Maal
Khalifah Umar bin Khattab
mengambil keputusan untuk tidak menghabiskan harta Baitul Maal sekaligus,
tetapi dikeluarkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ada, bahkan
diantaranya disediakan dana cadangan. Harta Baitul Maal dianggap sebagai harta
kaum Muslimin, sedangkan Khalifah dan para amil hanya berperan sebagai pemegang
amanah. Dengan demikian, negara bertanggung jawab untuk menyediakan makanan
bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar; membiayai
penguburan orang-orang miskin; membayar utang orang-orang yang bangkrut; membayar
uang diyat untuk kasus-kasus tertentu, seperti membayar diyat prajurit Shebani
yang membunuh seorang Kristiani untuk menyelamatkan nyawanya; serta memberikan
pinjaman tanpa bunga untuk tujuan komersial, seperti kasus Hind binti Ataba
(Karim, 2008: 59-61).
Sehingga perwujudan zakat
mampu memenuhi kebutuhan dan membuat seorang fakir menjadi kaya untuk
selamanya. Sehingga dapat meninggalkan
keterkaitan finansial kepada orang lain. Hal ini pun sebagaimana yang
diinginkan Umar Bin Khattab dalam penjelasan teoritis terhadap penerapan zakat
yang kemudian dijadikansebagai arahan yang bermanfaat dan dimasukkan ke dalam
hukum tasyri’ (Qardhawi, 2005: 54).
Khalifah Umar bin Khattab
menerapkan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan harta Baitul Maal. Ia
berpendapat bahwa kesulitan yang dihadapi umat Islam harus diperhitungkan dalam
menetapkan bagian seseorang dari harta negara dan karenanya, keadilan menghendaki
usaha seseorang serta tenaga yang telah dicurahkan dalam memperjuangkan Islam
harus dipertahankan dan dibalas dengan sebaik- baiknya (Karim, 2008: 64).
2. Diversifikasi terhadap
objek zakat (zakat terhadap karet di Semenanjung Yaman), tarif zakat (misalnya
mengenakan dasar advalorem, satu dirham untuk 40 dirham).
Kegiatan beternak dan
memperdagangkan kuda dilakukan secara besar-besaran di Syria dan di berbagai
wilayah kekuasaan Islam lainnya. Beberapa kuda mempunyai nilai jual yang tinggi,
bahkan pernah diriwayatkan bahwa seekor kuda Arab Taghlabi diperkirakan
bernilai 20.000 dirham dan orang-orang Islam terlibat dalam perdagangan ini.
Gubernur memberitahukan bahwa
tidak ada zakat atas keduanya. Kemudian mereka mengusulkan kepada khalifah agar
ditetapkan kewajiban zakat atas keduanya tetapi permintaan tersebut tidak
dikabulkan. Akhirnya, gubernur menulis surat kepada khalifah dan Khalifah Umar
menanggapinya dengan sebuah instruksi agar gubernur menarik zakat dari mereka
dan mendistribusikannya kepada para fakir miskin serta budak-budak. Sejak itu,
zakat kuda ditetapkan sebesar satu dinar atau atas dasar ad valorem, seperti satu dirham untuk setiap empat puluh dirham
(Karim, 2008: 69).
Umar mengenakan zakat atas
karet yang ditemukan di Semenanjung Yaman, antara Aden dan Mukha, dan hasil
laut karena barang-barang tersebut dianggap sebagai hadiah dari Allah SWT. Thaif
dikenal sebagai tempat peternakan lebah, Kahlifah Umar juga mengenakan zakat
pada peternakan lebah ini. Menurut riwayat Abu Ubaid, Umar membedakan madu yang
diperoleh dari pegunungandan madu yang diperoleh dari ladang. Zakat yang
ditetapkan adalah seperduapuluh untuk madu yang diperoleh dari pegunungan dan
sepersepuluh untuk madu yang diperoleh dari ladang (Karim, 2008: 69-70).
2.2.2.3
Khalifah Utsman Bin Affan
Pemerintahan
Khalifah Utsman Bin Affan berlangsung selama 12 tahun. Pada masa
pemerintahannya, Khalifah Utsman Bin Affan tetap mempertahankan sistem
pemberian bantuan dan santunan serta memberikan sejumlah besar uang kepada
masyarakat yang berbeda-beda. Meskipun meyakini prinsip persamaan dalam
memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, Utsman memberikan bantuan yang berbeda
pada tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, dalam pendistribusian harta
Baitul Maal, Khalifah Utsman Bin Affan menerapkan prinsip keutamaan seperti
halnya Umar Bin Khattab (Kara et al.,
2009: 28).
Dalam
pengelolaan zakat, Khalifah Utsman Bin Affan melantik Zaid Bin Sabit untuk
mengelola dana zakat. Ia juga mendelegasikan kewenangan menaksir harta yang
dizakati kepada para pemiliknya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk
mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan
yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat. Disamping itu, Khalifah
Utsman Bin Affan berpendapat bahwa zakat hanya dikenakan terhadap harta milik
seseorang setelah dipotong seluruh utang-utang bersangkutan. Ia juga mengurangi
zakat dari dana pensiun. Selama menjadi Khalifah, beliau menaikkan dana pensiun
sebesar 100 dirham disamping memberikan rangsum tambahan berupa pakaian. Utsman
juga memperkenalkan tradisi mendistribusikan makanan di mesjid untuk para fakir
miskin dan musafir (Karim, 2008: 80).
2.2.2.4
Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Masa
pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib berlangsung selama enam tahun, selalu
diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Sekalipun demikian, Khalifah
Ali Bin Abi Thalib tetap berusaha melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat
mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam. Menurut sebuah riwayat, ia
secara sukarela menarik diri dari daftar penerimaan dana bantuan Baitul Maal.
Bahkan menurut riwayat yang lain, Ali memberikan sumbangan sebesar 5000 dirham
setiap tahun. Apa pun faktanya, kehidupan Ali sangat sederhana dan sangat ketat
dalam membelanjakan keuangan negara. Dalam sebuah riwayat, saudaranya yang
bernama Aqil pernah mendatangi Khalifah Ali Bin Abi Thalib untuk meminta
bantuan keuangan dari dana Baitul Maal. Namun Ali menolak permintaan tersebut
(Karim, 2008: 82-83).
2.2.3
Zakat di Indonesia
Sebagai sebuah
negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, persoalan zakat pun
menjadi tak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Sejarah perkembangan zakat di Indonesia mengalami jalan panjang hingga saat
ini. Sejak Islam masuk di Indonesia, secara otomatis ajaran zakat pun
berakumulasi dengan kehidupan masyarakat.
Menurut
Aliboron (2010) sebelum tahun 1990-an, dunia perzakatan di Indonesia memiliki
beberapa ciri khas, antara lain :
1.
Pada umumnya diberikan langsung oleh
muzakki kepada mustahiq tanpa melalui amil zakat. Keadaan seperti
ini disebabkan antara lain karena belum tumbuhnya lembaga pemungut zakat,
kecuali di beberapa daerah tertentu, misalnya BAZIZ (Badan Amil Zakat, Infaq
dan Shadaqah) DKI. Di daerah yang tidak ada BAZIZ umumnya muzakki langsung
memberikannya kepada mustahiq.
Pemahaman tentang zakat pun masih sederhana, yakni sebatas kewajiban ibadah
murni yang harus dikeluarkan tanpa perlu menghubung-hubungkan dengan pemecahan
berbagai problematika seperti kemiskinan.
2.
Jika pun melalui amil zakat, hanya
terbatas pada zakat fitrah. Keadaan seperti ini tampak misalnya ketika memasuki
bulan Ramadhan atau hanya beberapa saat sebelum lebaran di mesjid-mesjid,
mushalla, secara dadakan dibentuk amil zakat untuk menerimakan zakat fitrah
yang dikeluarkan oleh masyarakat di sekitar mesjid atau mushalla. Bahkan itupun
masih terdapat anggota masyarakat yang berpandangan lebih afdhal kalau menyerahkan langsung
zakat fitrahnya ke muzakki tanpa melalui amil zakat.
3.
Zakat yang diberikan pada umumnya
hanya bersifat konsumtif untuk keperluan sesaat. Pada saat itu amil bertugas
menerima dan membagi zakat belum bersifat mengelola, sehingga tidak terlalu
dibutuhkan tuntutan profesionalitas. Maka amil hanyalah menjadi profesi sambilan.
Keadaan seperti ini didukung oleh cara pandang masyarakat ketika itu yang
umumnya bersifat konsumtif dan dapat pula menjadi indikator lemahnya
kepercayaan masyarakat kepada amil zakat.
4.
Harta obyek zakat hanya terbatas. Obyek
zakat ketika itu terbatas pada harta-harta yang eksplisit dikemukakan secara
rinci dalam Al-Qur’an maupun Hadits Nabi, yaitu emas perak, pertanian (terbatas
pada tanaman yang menghasilkan makanan pokok), peternakan (terbatas pada sapi,
kambing/domba), perdagangan (terbatas pada komoditas-komoditas yang berbentuk barang),
dan rikaz (harta temuan). Ini diakibatkan masih lemahnya sosialisasi tentang
zakat, baik yang berkaitan dengan hikmah, urgensi dan tujuan zakat, tata cara
pelaksanaan zakat, harta obyek zakat, maupun kaitan zakat dengan peningkatan
kegiatan ekonomi maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat masih sangat
jarang dilakukan.
Sejak tahun
1990-an zakat yang merupakan salah satu instrumental Islam yang strategis dalam
pembangunan ekonomi semakin populer di Indonesia. Indikasi positif ini selain
disebabkan oleh kesadaran menjalankan perintah agama di kalangan umat Islam
semakin meningkat dan menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Bahkan
setelah itu dorongan untuk membayar zakat juga datang dari pemerintah dengan
disahkannya perangkat perundang-undangan berupa UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat. Undang-undang ini telah melahirkan paradigma baru pegelolaan zakat yang
antara lain mengatur bahwa pengelolaan zakat dilakukan oleh satu wadah,
yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah bersama masyarakat
dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang
terhimpun dalam ormas maupun yayasan-yayasan (Aliboron, 2010).
Dengan lahirnya
paradigma baru ini, maka semua Badan Amil Zakat (BAZ) harus segera menyesuaikan
diri dengan amanat undang-undang yakni pembentukannya berdasarkan
kewilayahan pemerintah negara mulai dari tingkat nasional, provinsi,
kabupaten/kota dan kecamatan. Sedangkan untuk desa/ kelurahan, mesjid, lembaga
pendidikan dan lain-lain dibentuk unit pengumpul zakat. Sementara sebagai
Lembaga Amil Zakat (LAZ), sesuai amanat undang-undang tersebut, diharuskan
mendapat pengukuhan dari pemerintah sebagai wujud pembinaan, perlindungan dan
pengawasan yang harus diberikan pemerintah. Karena itu bagi Lembaga Amil Zakat
yang telah terbentuk di sejumlah Ormas Islam, yayasan atau Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), dapat mengajukan permohonan pengukuhan kepada pemerintah
setelah memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan (Aliboron, 2010).
2.3
Konsep Pajak
2.3.1 Sejarah
dan Landasan Filosofis Pemungutan Pajak
Pajak
sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu kala. Pada saat itu, pajak biasanya
ditarik untuk kebutuhan bersama, terutama untuk dana sebuah peperangan, karena
pada saat itu masyarakat masih melakukan perang guna memperebutkan wilayah
kekuasaan. Seperti di Mesir
contohnya, penarikan pajak sudah dilakukan sejak zaman fir’aun. Pada saat itu,
nama penarik pajak disebut dengan scribe.
Di Yunani, pemungutan
pajak disebut dengan eisphora, yaitu
pajak yang dikenakan guna membiayai suatu peperangan. Di Romawi, ada yang
namanya portoria, yaitu pemungutan
pajak yang berhubungan dengan bea masuk barang ekspor impor. Di Inggris, pada saat abad pertengahan
Inggris terkenal dengan perang yang berlangsung selama 100 tahun dengan Perancis
yang berakhir sekitar tahun 1453 M. Pada saat itu, mulai dikenal sistem pajak
yang dikenakan atas penghasilan, pajak kekayaan, kantor dan pajak seorang
pendeta. Pada saat itu pajak tanah juga mulai muncul, pajak atas kepemilikan
tanah dan bangunan. Di Amerika, sejarah pajak nampaknya sudah
menjadi pelopor pajak di era modern saat ini. Sejarah pajak di Amerika
berlangsung sangat panjang. Saat itu, rakyat Amerika dikenakan pajak atas
penghasilan mereka, yakni sekitar tahun 1812M. Pajak ini menggunakan tarif
progressif, yaitu 0,08% untuk penghasilan di atas 60 pound dan 10% untuk
penghasilan di atas 200 pound (Wahyu, 2010).
Secara umum pemungutan pajak yang teratur dan permanen di
Indonesia telah dikenakan pada masa kolonial. Tetapi pada masa kerajaan dahulu
juga telah ada pungutan seperti pajak, pungutan seperti itu dipersembahkan
kepada raja sebagai wujud rasa hormat dan upeti kepada raja, yang disampaikan
rakyat di wilayah kerajaan maupun di wilayah jajahan, figur raja dalam hal ini
dapat dipandang sebagi manifestasi dari kekuasaan tunggal kerajaan (negara).
Pada awal kemerdekaan pernah dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi pajak peredaran (barang), yang dalam tahun 1951 diganti dengan Pajak Penjualan (PPn). Pengenaan pajak secara sitematis dan permanen, dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah, hal ini telah ada pada zaman kolonial. Pajak ini disebut “landrent” (sewa tanah) oleh Gubernur Jenderal Raffles dari Inggris. Pada masa penjajahan Belanda disebut “landrente”. Peraturan tentang landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian diubah dan ditambah dengan ordonansi landrente. Pada tahun 1932, dikeluarkan ordonansi Pajak Kekayaan (PKk) yang beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun1964 (Ekonomikieta, 2009).
Pada awal kemerdekaan pernah dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi pajak peredaran (barang), yang dalam tahun 1951 diganti dengan Pajak Penjualan (PPn). Pengenaan pajak secara sitematis dan permanen, dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah, hal ini telah ada pada zaman kolonial. Pajak ini disebut “landrent” (sewa tanah) oleh Gubernur Jenderal Raffles dari Inggris. Pada masa penjajahan Belanda disebut “landrente”. Peraturan tentang landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian diubah dan ditambah dengan ordonansi landrente. Pada tahun 1932, dikeluarkan ordonansi Pajak Kekayaan (PKk) yang beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun1964 (Ekonomikieta, 2009).
Penarikan atau
pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang harus dilaksanakan oleh negara
sebagai suatu fungsi esensial. Memang dibeberapa negara yang sudah maju, pajak
sudah merupakan suatu conditiesine qua non bagi penambahan keuangan
negara. Tanpa pemungutan pajak sudah bisa dipastikan bahwa keuangan negara akan
lumpuh lebih-lebih lagi bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia,
atau negara yang baru bebas dari belenggu kolonialis pajak merupakan darah bagi
tubuh negara. Atas dasar ini, dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis
pemungutan pajak didasarkan atas pendekatan “benefit apoprouch” atau
pendekatan manfaat. Pendekatan ini merupakan dasar fundamental atas dasar
filolosofis yang membenarkan negara melakukan pemungutan pajak sebagai yang
dapat dipaksakan dalam arti mempunyai wewenang dengan kekuatan pemaksa.
Pendekatan manfaat (benefit approuch) ini mendasarkan suatu falsafah:
oleh karena negara menciptakan manfaat yang dinikmati oleh seluruh warga negara
yang berdiam dalam negara, maka negara berwewenang memungut pajak dari rakyat
dengan cara yang dapat dipaksakan (Ekhardi, 2010).
Di dalam
literatur ilmu keuangan negara, kita temukan teori-teori yang memberikan dasar
pembenaran atau landasan filosofis daripada wewenang negara untuk memungut
pajak dengan cara yang dapat dipaksakan. Teori-teori tersebut adalah (Ekhardi,
2010):
1.
Teori asuransi
Menurut teori ini, negara dalam melaksanakan tugasnya/fungsinya,
mencakup pula tugas perlindungan terhadap jiwa dan harta benda perseorangan. Oleh
sebab itu, negara bekerja atau bertindak sebagai perusahaan asuransi. Untuk
perlindungan itu, warga negara membayar premi dan pembayaran pajaklah yang
dapat dipandang sebagai premi itu. Teori ini sudah lama ditinggalkan, dan
sekarang praktis tidak ada lagi pembelanya, sebab negara tidak mengganti
kerugian bila timbul kerugian atas orang-orang yang bersangkutan,
misalnya dibunuh atau hartanya dicuri.
2.
Teori kepentingan
Menurut teori ini, pajak itu mempunyai hubungan dengan
kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaan negara. Makin banyak
menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, makin besar juga pajaknya.
3.
Teori kewajiban pajak mutlak (teori
pengorbanan)
Teori ini berpangkal tolak dari ajaran organik kenegaraan (Organische Staatsleer) dan berpendirian
bahwa tanpa negara maka individu tidak mungkin bisa hidup bebas berusaha dalam
negara. Oleh karena itu, negara mempunyai hak mutlak untuk memungut
pajak. Tanpa negara, maka individu pun tidak ada, dan pembayaran pajak oleh
individu kepada negara adalah dipandang sebagai tanda pengorbanan atau tanda
baktinya kepada negara. Teori ini terlalu menitikberatkan kepada negara yaitu
seolah-olah individu itu tidak dapat hidup tanpa negara, tetapi negara dapat
hidup tanpa individu. Padahal realitasnya tidak demikian, sebab negara pun tak
mungkin hidup/ada tanpa individu.
4.
Teori gaya beli
Teori ini mengajarkan bahwa fungsi pemungutan pajak, jika
dipandang sebagai gejala dalam masyarakat disamakan dengan pompa, yaitu
mengambil gaya beli dari rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga
negara dan kemudian menyalurkan kembali ke masyarakat dengan tujuan untuk
memelihara hidup masyarakat atau untuk kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan. Teori ini banyak penganutnya, karena kepraktisannya. Teori ini
berlaku sepanjang masa baik dalam ekonomi liberal, bahkan juga dalam masyarakat
sosialistis, meskipun tidak luput dari variasi-variasi dalam coraknya. Teori
ini tidak mempersoalkan asal mula negara memungut pajak, melainkan hanya
melihat kepada “efek” yang baik sebagai dasar keadilan pemungutan pajak dan
bukan kepentingan individu, maupun bukan kepentingan negara, melainkan
kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya.
5.
Teori gaya pikul
Teori ini mengajarkan bahwa pemungutan pajak harus sesuai
dengan kekuatan membayar dari si wajib pajak (individu). Tekanan semua
pajak-pajak harus sesuai dengan gaya pikul si wajib pajak dengan memperhatikan
pada besarnya penghasilan dan kekayaan, juga pengeluaran belanja wajib pajak
tersebut.
2.3.2
Pengertian Pajak dan Unsur Pajak
Secara etimologi, pajak dalam bahasa Arab disebut dengan
istilah dharibah. Secara bahasa
maupun tradisi, dharibah
dalam penggunaannya memang mempunyai banyak arti, namun para ulama memakai
ungkapan dharibah untuk menyebut
harta yang dipungut sebagai kewajiban. Hal ini tampak jelas dalam ungkapan
bahwa jizyah dan kharaj dipungut secara dharibah,
yakni secara wajib. Bahkan sebagian ulama menyebut kharaj merupakan dharibah
(Gusfahmi, 2007: 27).
Menurut Qardhawi dalam Gusfahmi (2007: 31):
“Pajak adalah
kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada
negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara,
dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan
untuk merealisasi sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan
lain yang ingin dicapai oleh negara”.
Menurut Gaji Inayah dalam Gusfahmi (2007: 32):
“Pajak adalah
kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat
berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu. Ketentuan
pemerintah ini sesuai dengan kemampuan si pemilik harta dan dialokasikan untuk
mencukupi kebutuhan pangan secara umum dan untuk memenuhi tuntutan politik
keuangan bagi pemerintah”.
Menurut Abdul Qadim Zallum dalam Gusfahmi (2007: 32), “Pajak adalah harta yang
diwajibkan Allah SWT kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan
pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi baitul maal
tidak ada uang/ harta”.
Menurut Rochmat Soemitro dalam Mardiasmo (2009: 1), “Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tiada mendapat jasa timbal atau kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukkan
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa pajak memiliki unsur-unsur:
a.
Iuran
dari rakyat kepada negara.
Yang
berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang dan bukan
barang.
b.
Berdasarkan
undang-undang
Pajak
dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
c.
Tanpa
jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat
ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
individual oleh pemerintah.
d.
Digunakan
untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang
bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.3.3
Fungsi Pajak
Menurut Mardiasmo (2009: 1-2) ada dua fungsi pajak, yaitu:
a.
Fungsi
Budgetair
Pajak
sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
b.
Fungsi
Mengatur (regulerend)
Pajak sebagai
alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang
sosial dan ekonomi.
2.3.4
Jenis-Jenis
Pajak
a.
Pajak
Penghasilan (PPh), adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun pajak. Subjek
Pajak Pajak Penghasilan (PPh) adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi
untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak
Penghasilan (Resmi, 2003:74).
Lebih
lanjut, menurut
Diana dan Lilis Setiawati (2009: 163), Pajak Penghasilan dikenakan terhadap
Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam
tahun pajak. Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tersebut
disebut sebagai Wajib Pajak (WP). Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai
pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak
subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Adapun
tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri (Diana dan Lilis Setiawati, 2009: 295), yaitu:
LAPISAN
PENGHASILAN KENA PAJAK
|
TARIF
PAJAK
|
Sampai
dengan Rp. 50.000.000,00
|
5%
|
Di
atas Rp. 50.000.000,00 s.d. Rp. 250.000.000,00
|
15%
|
Di
atas Rp. 250.000.000,00 s.d. Rp. 500.000.000,00
|
25%
|
Di
atas Rp. 500.000.000,00
|
30%
|
b.
Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM).
Menurut
Yolina (2009: 15) “Pajak Pertmbahan Nilai (PPN) merupakan salah satu jenis
pajak yang akan selalu terjadi dalam perusahaan kecil dan menengah baik yang
bergerak di bidang perdagangan maupun jasa”.
Lebih
lanjut, menurut Sukardji (2004: 3) “PPN adalah pajak objektif yang mengandung
pengertian bahwa timbulnya kewajiban pajak di bidang PPN sangat ditentukan oleh
adanya objek pajak”.
Menurut
Diana dan Lilis Setiawati (2009: 630), PPnBM dikenakan atas:
1.
Penyerahan
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah
Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2.
Impor
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah
- Bea Perolehan atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan (Diana dan Lilis setiawati, 2009: 677).
- Bea Materai. Undang-Undang No. 13
Tahun 1985 menetapkan pajak atas dokumen yang disebut Bea Materai.
Pelaksanaanya diatur dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24
Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas
Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Materai (Diana dan Lilis
Setiawati, 2009: 739).
e.
Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB). Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di
bawahnya. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara
tetap pada tanah dan/atau perairan. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diatur dalam
Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No.12 Tahun 1994 (Diana dan Lilis Setiawati, 2009: 711).
2.3.5
Syarat
Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2009: 2) agar
pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan
pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.
Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
b.
Pemungutan pajak harus berdasarkan
undang-undang (syarat yuridis)
c.
Tidak menganggu perekonomian (syarat
ekonomis)
d.
Pemungutan pajak harus efisien (syarat
finansial)
e. Sistem
pemungutan pajak harus sederhana.
2.3.6
Pengelompokan
Pajak
Menurut Mardiasmo (2009:
5-6) pengelompokan pajak terdiri atas:
a.
Menurut
Golongannya
1.
Pajak
Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak
dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
2.
Pajak
tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain.
b.
Menurut
Sifatnya
1.
Pajak
subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam
arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
2.
Pajak
Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan
keadaan diri Wajib Pajak.
c.
Menurut
Lembaga Pemungutnya
1.
Pajak
Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga negara.
2.
Pajak
Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah Daerah dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga daerah.
2.4
Penerapan Pajak
2.4.1 Pajak Pada Masa
Rasulullah SAW
Pada masa Rasulullah SAW juga sudah terdapat jizyah
yaitu pajak yang dibayarkan oleh orang nonmuslim khususnya ahli kitab, untuk
jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak
wajib militer. Besarnya jizyah yakni
satu Dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Tujuan utamanya
adalah kebersamaan dalam menanggung beban negara yang bertugas memberikan
perlindungan, keamanan dan tempat tinggal bagi mereka dan juga sebagai dorongan
kepada kaum kafir untuk masuk Islam. Jizyah
merupakan hak Allah SWT yang diberikan kepada kaum Muslimin dari orang-orang
kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam. Jizyah masih terkait dengan hasil dakwah dan jihad kaum Muslimin. Pihak
yang wajib membayar Jizyah adalah para
ahli kitab yaitu orang-orang Yahudi, Nasrani dan yang bukan ahli kitab seperti
orang-orang Majusi, Hindu, Budha dan Komunis yang telah menjadi warga negara
Islam (Nasution et al., 2006: 228).
Meskipun jizyah merupakan
hal yang wajib, namun dalam ajaran Islam ada ketentuannya, yaitu bahwa jizyah wajib dikenakan kepada seluruh
nonmuslim dewasa, laik-laki, yang mampu membayarnya. Sedangkan bagi perempuan,
anak-anak, orang tua dan pendeta dikecualikan sebagai kelompok yang tidak wajib
ikut bertempur dan tidak diharapkan mampu ikut bertempur. Orang-orang miskin,
penganggur, pengemis, tidak dikenakan pajak. Hasil pengumpulan dana dari jizyah, digunakan untuk membiayai kesejahteraan
umum (Suprayitno, 2005: 179-180). Sebagaimana kewajiban tentang pembayaran jizyah dalam firman Allah :
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image010.jpg)
Artinya:
”Perangilah orang-orang yang tidak
beriman kepada Allah dan hari kemudian,
mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), yaitu orang-orang
yang telah diberikan Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. (QS. At-Taubah: 29).
Di samping itu
Rasulullah SAW juga memberlakukan kharaj, yaitu sejenis
pajak yang dikenakan pada tanah yang terutama ditaklukkan oleh kekuatan
senjata, terlepas dari apakah si pemilik itu seorang yang dibawah umur, seorang dewasa, seorang bebas, budak, Muslim ataupun
tidak beriman. Cara memungut kharaj terbagi dua jenis: kharaj
menurut perbandingan (Muqasimah) dan kharaj tetap (Wazifah). Kharaj menurut
perbandingan ditetapkan porsi hasil seperti
setengah atau sepertiga hasil itu. Sebaliknya, kharaj tetap adalah beban khusus pada tanah sebanyak hasil alam
atau uang persatuan lahan. Kharaj
menurut perbandingan pada umumnya dipungut pada setiap kali panen, sedangkan kharaj tetap menjadi wajib setelah
lampau satu tahun (Mannan, 1997: 250).
2.4.2 Pajak Pada Masa Khulafaurrasyidin
2.4.2.1 Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq
Pada masa kekhalifahannya, Abu Bakar tidak merubah
kebijakan Rasulullah SAW dalam masalah jizyah.
Sebagaimana Rasulullah SAW, Abu Bakar tidak membuat ketentuan khusus tentang jenis dan kadar jizyah, maka pada
masanya, jizyah dapat berupa emas,
perhiasan, pakaian, kambing, onta, atau
benda-benda lainnya (Mofidrabbani, 2011). Abu
Bakar juga melaksanakan kebijakan pembagian tanah hasil taklukan, sebagian
diberikan kepada kaum Muslimin dan sebagian yang lain tetap menjadi tanggungan
negara. Di samping itu, Abu Bakar juga mengambil alih tanah-tanah dari
orang-orang yang murtad untuk kemudian dimanfaatkan demi kepentingan umat Islam
secara keseluruhan (Karim, 2008: 57).
2.4.2.2
Khalifah Umar bin Khattab
Pada
masa kekhalifahannya, Umar telah merubah taksiran jizyah dari ketetapan Nabi. Umar tidak lagi menggunakan ukuran
dinar atau yang senilai dengannya, tapi beliau menggunakan dirham. Selain itu
beliau juga membeda-bedakan standar jizyah
berdasarkan kondisi perekonomian orangnya. Beliau tidak ingin jizyah yang harus dibayarkan oleh kaum
dzimmi (orang nonmuslim yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam) membebani
mereka diluar kemampuannya. Jizyah
diambil sekali dalam setahun, dimulai dari awal bulan Muharram dan ditutup akhir
bulan Dzulhijjah. Untuk pengambilannya, diangkat petugas khusus untuk menarik jizyah serta untuk pendistribusiannya
yaitu amil (pegawai pajak). Dalam pengangkatan pegawai pajak Umar melakukan
seleksi terlebih dulu terhadap orang yang bersifat jujur dan cocok untuk
menduduki posisi sebagai pegawai pajak. Kedudukan serta upah mereka merupakan
bagian dari Baitul Mal, bukan kewajiban dari kaum dzimmi. Petugas ini dilarang
mengambil sesuatu yang lebih dari besarnya jizyah
yang telah ditetapkan atas seorang dzimmi. Selain itu, petugas ini dilarang
memukul atau menganiaya kaum dzimmi waktu mengambil jizyah
(Cahaya, 2008).
Adapun
penentuan kharaj pada masa Umar Bin
Khatab yaitu, kharaj dibebankan
kepada semua tanah yang berada di bawah kategori pertama, meskipun pemilik
tanah tersebut memeluk agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak
dapat dikonversi menjadi tanah ushr. Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan asumsi tanah tersebut dapat dilalui
air. Harga yang lebih tinggi yang dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan (Karim, 2008: 67-68).
2.4.2.3
Khalifah Utsman Bin Affan
Khalifah
Utsman bin Affan membuat beberapa perubahan administrasi tingkat atas pergantian
beberapa gubernur. Sebagai hasilnya, jumlah pemasukan kharaj dan jizyah yang
berasal dari Mesir meningkat dua kali lipat yakni dari 2 juta dinar menjadi 4
juta dinar setelah dilakukan penggantian gubernur dari Amar kepada Abdullah bin
Saad. Namun hal ini mendapat kecaman dari Amar. Menurutnya pemasukan besar yang
diperoleh Gubernur Abdullah bin Saad merupakan hasil pemerasan penguasa
terhadap rakyatnya. Dengan harapan dapat memberikan tambahan pemasukan bagi
Baitul Mal, Khalifah Utsman menerapkan kebijakan membagi-bagikan tanah negara
kepada individu-individu untuk tujuan reklamasi. Dari hasil kebijakannya ini, negara
memperoleh pendapatan sebesar 50 juta dirham atau naik 41 juta dirham jika
dibandingkan pada masa Umar bin Khattab yang tidak membagikan tanah-tanah
tersebut (Kara et al., 2009: 29).
2.4.2.4
Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Selama masa
pemerintahannya, Khalifah Ali bin Abi Thalib menetapkan pajak terhadap para
pemilik hutan sebesar 4000 dirham dan mengizinkan Ibnu Abbas, Gubernur Kufah,
memungut zakat terhadap sayuran segar yang akan digunakan sebagai bumbu masakan
(Karim, 2008: 83). Jizyah disesuaikan dengan keuangan mereka.
Orang-orang kaya harus membayar lebih besar, kelas menengah harus membayar
jumlah dibawah orang kaya, dan orang yang miskin membayar paling murah. Mereka
yang miskin sekali atau tidak memiliki sumber penghasilan yang tetap atau
menggantungkan hidupnya dari orang lain tidak perlu membayar jizyah. Begitu negara menerima jizyah dari mereka, kaum Muslimin
dilarang memperlakukan mereka secara keras dan zalim. Tanah, harta kekayaan
serta nyawa mereka dan sekaligus kehormatannya wajib dilindungi karena sama
sucinya dengan semua yang dimiliki oleh kaum Muslimin sendiri. Hak-hak mereka
tidak dapat ditindas dan dirampas atau pun dibebani beban yang tidak dapat
mereka tanggung. (marhabanyamarhaban.wordpress.com)
2.4.3
Pajak di Indonesia
Pemungutan pajak di Indonesia secara
umum menganut sistem self assessment.
Sistem self assessment adalah sistem
pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada
wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri
besarnya pajak yang harus dibayar. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan,
meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(Diana dan Liis Setiawati, 2009: 1-2)
Selain sistem self assessment ada dua sistem lagi yang dipakai di Indonesia
(Ozha, 2011), yakni:
1. Official assessment, yaitu Pajak Terhutang Ditetapkan Oleh Pejabat Pajak. Pajak
dihitung negara, dalam hal ini oleh Petugas Pajak, dan setelah ditetapkan
kemudian Wajib Pajak diwajibkan membayar berdasarkan perhitungan Petugas Pajak.
Di Indonesia, sistem Official Assesment
dianut dalam hal pengenaan pajak, dilakukan berdasarkan Hasil Pemeriksaan Pajak
atau berdasarkan keterangan lainnya.
2. Witholding System, yaitu Pajak Terhutang Dihitung dan Dilaporkan Melalui
Pemotongan dan/atau Pemungutan oleh Pihak Lawan Transaksi. Pajak yang diperoleh
negara melalui sistem pemotongan dan/atau pemungutan. Misalnya, suatu
perusahaan membayar imbalan jasa kepada perusahaan lain, maka atas imbalan jasa
tersebut wajib dipotong pajak dengan persentase tertentu oleh Pihak Lawan
Transaksi.
Konsekuensi sistem self assessment, setiap Wajib Pajak yang
memiliki penghasilan wajib mendaftarkan diri sendiri ke Kantor Pelayanan Pajak
(KPP). Lebih lanjut, setiap Wajib Pajak wajib menghitung sendiri dan membayar
pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Pada
prinsipnya pajak terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai
pajak. Jadi, hutang pajak tidak timbul pada saat dibuatkan Surat Ketetapan
Pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan di Indonesia saat
terutangnya pajak tersebut ditetapkan sebagai berikut (Diana dan Lilis
Setiawati, 2009: 2):
1.
Pada
suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga.
2.
Pada
akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang
dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak
atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Pada akhir tahun Pajak, untuk Pajak
Penghsilan.
Jumlah pajak yang terutang yang
telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah
tiba saat atau masa pelunasan pembayaran, oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke
Kas Negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan. Jumlah pajak yang terutang menurut Surat
Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Jadi, jika Wajib Pajak
telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar, serta
melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, tidak perlu diberikan surat ketetapan
pajak ataupun Surat Tagihan Pajak. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang
sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang
sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan (Diana dan Lilis Setiawati, 2009: 2-3).
Dengan melihat pelaksanaan pajak yang telah diuraikan di
atas, pengelolaan pajak di Indonesia terbilang sukses. Ini semua tidak lepas
dengan adanya administrasi pajak yang tentunya efisien dan efektif. Menurut
Parwito (2009: 8-9) administrasi pajak yang baik harus meliputi tiga aspek,
yaitu:
1. Fungsi. Administrasi pajak
sebagai fungsi meliputi fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan. Dalam fungsi perencanaan, administrasi pajak merencanakan apa yang
akan dicapai oleh fiskus, baik dalam jangka pendek, jangka menengah maupun
jangka panjang. Sebagai fungsi pengorganisasian, administrasi pajak melakukan
pengelompokan tugas, tanggungjawab, wewenang sedemikian rupa sehingga tujuan
yang telah ditetapakan dapat tercapai secara efisien. Fungsi palaksanaan
meliputi pemberian motivasi kerja kepada para pegawai sehingga mereka bekerja
dengan semangat yang tinggi. Sedangkan fungsi pengawasan, administrasi
diperlukan untuk proses pengamatan dan mengupayakan agar apa yang dilakukan sesuai
dengan yang direncanakan sebelumnya, sehingga jika terjadi kesalahan dapat
dilakukan tindakan koreksi atau pembetulan.
2. Sistem. Administrasi pajak
sebagai suatu sistem merupakan subsistem dari keuangan negara. Sedangkan
keuangan negara merupakan suatu sistem dari administrasi negara dan
administrasi negara pun merupakan subsistem dari kehidupan kenegaraan pada
umumnya. Dengan demikian, setiap sistem merupakan suatu subsistem dari sistem
yang lebih luas sehingga satu dengan lainnya saling terkait dalam suatu
lingkungan yang kompleks.
3. Lembaga. Administrasi pajak
sebagai lembaga meliputi badan-badan yang secara khusus
menangani masalah perpajakan. Di Indonesia lembaga tersebut adalah Direktorat
Jenderal Pajak yang dalam operasionalnya dibentuk instansi vertikal berupa
Kantor Wilayah dengan membawahi beberapa Kantor Pelayanan Pajak dan Kantor
Pemeriksaan Pajak, yang pada perkembangan selanjutnya Kantor Wilayah membawahi
Kantor Pelayanan Pajak yang mempunyai 4 fungsi (fungsi perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan) seperti yang telah dijelaskan di
atas.
2.5 Mekanisme Zakat Pengurang Penghasilan Kena Pajak
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP.163/PJ./2003
tentang Perlakuan Zakat atas
Penghasilan dalam Penghitungan Penghasilan Kena
Pajak, dijelaskan dengan tegas
bahwa zakat dapat mengurangi
pajak
setelah memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut (Husain, 2010):
1.
Zakat harus nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak
Orang Pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang dimiliki oleh
pemeluk agama Islam.
2.
Zakat dibayarkan kepada BAZ (Badan Amil Zakat)
atau
LAZ (Lembaga
Amil
Zakat) yang dibentuk atau
disahkan oleh
pemerintah sesuai
ketentuan Undang- undang Nomor 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
3.
Zakat yang dibayarkan adalah penghasilan
yang merupakan objek pajak yang dikenakan pajak penghasilan yang tidak bersifat final.
4.
Zakat penghasilan yang
dibayarkan diakui sebagai pengurangan PPh
pada tahun zakat tersebut dibayarkan.
5.
Melampirkan lembar ke-1 Surat
Setoran zakat atau fotocopinya yang telah dilegalisir oleh BAZ atau LAZ
penerima setoran zakat yang bersangkutan pada SPT tahuna pajak penghasilan
tahun pajak dilakukannya pengurangan zakat atas penghasilan tersebut. Selanjutnya Surat Setoran Zakat yang dapat
diakui sebagi bukti,
sekurang-kurangnya harus memuat:
a.
Nama lengkap wajib pajak
b.
Alamat jelas wajib pajak
c.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
d.
Jenis penghasilan yang dibayar zakatnya
e.
Sumber atau jenis penghasilan dan bulan
atau tahun perolehannya
f.
Besarnya penghasilan
g.
Besarnya zakat atas penghasilan
Contoh kasus zakat sebagai pengurang Pajak Penghasilan
(PPh):
Penerapan pajak dan zakat
Gaji satu bulan Rp. 1.500.000
Tunjangan istri/anak Rp. 50.000
Tunjangan perumahan Rp. 50.000
Tunjangan pendidikan anak Rp. 50.000
Tunjangan jabatan Rp. 50.000
Tunjangan transport Rp. 50.000
Jaminan Kecelakaan Kerja/JKK (0,24%) Rp. 3.600
Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan (6%) Rp. 90.000 +
Penghasilan bruto Rp. 1.843.600
Pengurangan
Zakat 2,5% x Rp. 1.843.600 Rp. 46.090
Biaya jabatan 5% x Rp. 1.843.600 Rp. 92.180
Iuran
pensiun Rp. 25.000
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image011.gif)
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image012.gif)
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image013.gif)
Rp. 193.270
Penghasilan netto sebulan Rp. 1.843.600
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image014.gif)
Rp. 1.650.330
Penghasilan netto setahun Rp.
1.650.330 x 12 Rp. 19.803.960
PTKP (K/3)
a.
Wajib sendiri Rp. 2.880.000
b.
Tambahan status kawin Rp. 1.440.000
c.
Tambahan untuk 3 anak
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image015.gif)
Rp.
8.640.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 19.803.960
Rp. 8.640.000 -
RP.
11.163.960
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan Rp. 11.163.000
PPh Pasal 21 setahun = 5% x Rp.
11.163.000 à Rp. 558.150
PPh Pasal 21 sebulan = Rp. 558.150 :
12
à Rp. 46.512
Penerapan pajak tanpa zakat
Gaji satu bulan Rp. 1.500.000
Tunjangan istri/anak Rp. 50.000
Tunjangan perumahan Rp. 50.000
Tunjangan pendidikan anak Rp. 50.000
Tunjangan jabatan Rp. 50.000
Tunjangan transport Rp. 50.000
Jaminan Kecelakaan Kerja/JKK (0,24%) Rp. 3.600
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image016.gif)
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image017.gif)
Penghasilan bruto Rp. 1.843.600
Pengurangan
Biaya jabatan 5% x Rp. 1.843.600 Rp. 92.180
a.
Iuran pensiun Rp. 25.000
b.
Iuran JHT (2%) Rp. 30.000+
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image018.gif)
Rp. 147.180
Penghasilan netto sebulan Rp. 1.843.600
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image017.gif)
Rp. 1.990.780
Penghasilan netto setahun Rp. 1.990.780
x 12 Rp. 23.889.360
PTKP (K/3)
a.
Wajib sendiri Rp. 2.880.000
b.
Tambahan status kawin Rp. 1.440.000
c.
Tambahan untuk 3 anak
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image019.gif)
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image020.gif)
Rp. 8.640.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 23.889.360
Rp. 8.640.000 -
Rp. 15.249.360
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan Rp. 15.249.000
PPh Pasal 21 setahun = 5% x Rp.
15.249.000 à Rp. 762.450
PPh Pasal 21 sebulan = Rp. 762.450 :
12
à Rp. 63.537
2.6
Pendapat Ulama Mengenai
Penerapan Zakat dan Pajak
Pendapat Ulama dalam Hasan (1996: 36-37)
tentang zakat dan pajak sebagai berikut:
1.
Pendapat
Syekh Ulaith
Dalam fatwa beliau dari
mazhab Maliki disebutkan, bahwa beliau pernah memberi fatwa mengenai orang yang
memiliki ternak yang sudah sampai nisabnya. Kepada orang tersebut dipungut uang
setiap tahunnya, tetapi tidak atas nama zakat. Apakah orang itu boleh berniat
atas nama zakat, dan apakah kewajiban berzakat telah gugur karena itu? Beliau
dengan tegas menjawab: “ia tidak boleh berniat zakat. Jika dia berniat zakat,
maka kewajibannya tidak menjadi gugur, sebagaimana telah difatwakan oleh Nasir
al-Haqani dan al-Hatab”.
2.
Fatwa
Syekh Mahmud Syaltut
Dalam masalah yang
dibicarakan ini beliau mengatakan, bahwa zakat bukanlah pajak. Zakat pada
dasarnya adalah ibadah harta. Memang antara zakat dan pajak ada persamaannya,
tetapi ada perbedaanya dalam banyak hal. Pada prinsipnya pendapat beliau itu
sama dengan ulama-ulama yang mengatakan bahwa zakat dan pajak berbeda asas dan
sasarannya. Zakat kewajiban kepada Allah SWT sedang pajak kewajiban kepada
pemerintah.
3.
Pendapat
Syekh Abu Zahrah
Begitu ditanya orang
mengenai pajak dan zakat beliau menjawab, bahwa pajak itu sampai sekarang tidak
memiliki nilai-nilai khusus, yang dapat memberikan jaminan sosial, padahal
tujuan pokok pajak adalah menanggulangi masalah sosial kemasyarakatan. Zakat
dapat memenuhi tuntutan sebagai pajak. Tetapi pajak tidak mungkin dapat
memenuhi tuntutan zakat, karena pajak tidak menanggulangi kebutuhan fakir
miskin yang menuntut untuk dipenuhi. Zakat adalah merupakan kewajiban dari
Allah SWT dan tidak mungkin dihapuskan oleh hamba-Nya. Zakat tetap dipungut
sepanjang zaman, walaupun fakir miskin telah tiada. Pemanfaatannya disalurkan
untuk fi sabilillah.
2.7
Kerangka Berpikir
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image021.gif)
![]() |
Penerapan zakat pada masa Rasulullah SAW, masa khulafaurrasyidin,
dan zakat di Indonesia
|
|
Penerapan pajak pada masa Rasulullah SAW, masa khulafaurrasyidin,
dan pajak di Indonesia
|
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image023.gif)
![]() |
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image023.gif)
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image025.gif)
Pendapat Ulama Tentang
zakat dan pajak
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image026.gif)
Pengelolaan zakat secara
efektif
dengan penerapan
konsep pajak
BAB
III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Jenis
penelitian ini tergolong dalam penelitian pustaka atau literatur (Library Research) berupa pencarian
fakta dengan interpretasi yang tepat. Menurut Sangadji dan Sopiah (2010: 28),
“Pengertian penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilaksanakan dengan
menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan
hasil penelitian dari penelitian terdahulu”.
3.2 Jenis dan Sumber Data
3.2.1
Jenis Data
1. Data Kualitatif adalah data
yang tidak dapat diukur atau dinilai dengan angka-angka secara langsung.
2. Data Kuantitatif adalah
data yang dapat diukur atau dinilai dengan angka-angka secara langsung.
3.2.2
Sumber Data
Sumber
data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang
diperoleh dari berbagai literatur, seperti buku-buku yang menunjang dengan
obyek penelitian dan berkaitan dengan yang akan diteliti dalam hal ini mengenai
zakat dan pajak, jurnal dan website yang membahas tentang kaitan zakat dan
pajak, dan lain-lain yang berhubungan dengan penelitian.
![]() |
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa Penelitian
Kepustakaan (Library Research). Teknik
ini merupakan bentuk penelitian yang dilakukan peneliti dengan mengumpulkan
sejumlah data dengan jalan membaca dan menulusuri literatur-literatur baik
berupa buku-buku, majalah, dan tulisan-tulisan ilmiah yang berhubungan dengan
masalah yang akan dibahas.
3.4 Teknik Analisis Data
Untuk membahas rumusan masalah yang
pertama yaitu mengenai persamaan dan perbandingan antara konsep zakat dan
konsep pajak, peneliti menggunakan metode deskripsi komparatif. Zakat dan pajak
dianalisis mengenai persamaan dan perbedaannya secara lebih rinci.
Untuk membahas rumusan masalah kedua
yaitu mengenai pendapat/pemikiran ulama mengenai penerapan konsep pajak pada
zakat, peneliti menggunakan metode deskripsi analisis. Dengan mengumpulkan
beberapa pendapat para ulama, dimulai dari pendapat umum para ulama mengenai
zakat dan pajak, ulama yang berpendapat bahwa ada kewajiban lain atas harta
selain zakat, ulama yang berpandapat bahwa pajak itu boleh, ulama yang
berpendapat bahwa pajak itu haram, dan yang terakhir alasan ulama membolehkan
pajak.
Sedangkan untuk membahas rumusan
masalah ketiga mengenai pengelolaan zakat secara efektif dengan penerapan konsep
pajak digunakan metode deskripsi analisis. Dengan memaparkan kelebihan yang
dimiliki konsep pajak terhadap konsep zakat kemudian dilakukan analisis apakah
konsep tersebut dapat diterapkan pada zakat, sehingga diperoleh pengelolaan
zakat secara efektif dengan penerapan konsep pajak.
![](file:///C:/Users/Samsung/AppData/Local/Temp/OICE_C960D61B-3C3F-4066-BCCC-0A4E48DE08B7.0/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Abdalla, Taufiq Umar. 2010. Analisis
Kesiapan Administrasi Pemungutan Pajak Bumi dan bangunan Berdasarkan
Undang-Undang No. 28 tahun 2009. Skripsi. Depok: Program Pascasarjana Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia.
Al-Ba’ly, Abdul Al-Hamid
Mahmud. 2006. Ekonomi Zakat: Sebuah
Kajian Moneter dan Keuangan Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Al-Habsyi, Muhammad Bagir.
1999. Fiqih Praktis: Menurut Al-Qur’an,
As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama. Bandung: Mizan Anggota IKAPI.
Aliboron. 2010. Pengelolaan Zakat di Indonesia: Perspektif
Peran Negara, (Online), (http://aliboron.wordpress.com/2010/10/26/pengelolaan-zakat-di
indonesia-perspektif-peran-negara, diakeses 14 April 2012).
Anida, Ida. 2010. Pengaruh Pengendalian Intern Terhadap Efektivitas
Pendayagunaan Dana Zakat. Skripsi. Bandung: Program Pascasarjana Fakultas
Ekonomi Universitas Komputer Indonesia.
Arian. 2011. Zakat,
Macam-Macam Zakat dan Pengertian Zakat, (Online), (http://arian-rasta.blogspot.com/2011/12/zakat-macam-macam-zakat-pengertian.html, diakses 30 Mei 2012).
Arif.
2012. Zakat dan Pajak Suatu Upaya
Pengintegrasian, (Online), http://arif1501.blogspot.com/2012/06/zakat-dan-pajak-suatu
upaya.html diakses
10 September 2012).
Arizta.
2011. Jenis-Jenis Zakat, (Online), (http://arizta.mywapblog.com/jenis-jenis-zakat.xhtml, diakses 30 Mei 2012).
Arrsa. 2008. Peran Negara Dalam Merevitalisasi Pengelolaan Zakat Sebagai Upaya
Strategis Menanggulangan Kemiskinan di Indonesia, (Online), http://www.legalitas.org/?q=content/peran-negara-dalam-merevitalisa-si-pengelolaan-zakat-sebagai-upaya-strategis-menanggulangan-kemiskinan-di-indonesia, diakses 10
September 2012).
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2006. Pedoman Zakat. Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra.
Azizy, A. Qodri. 2004. Membangun Fondasi Ekonomi Ummat: Meneropong
Prospek Perkembangannya Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Bamz. 2011. Pengertian dan Macam-Macam Zakat, (Online),
http://www.bamz.us/2011/12/pengertian-zakat-dan-macam-zakat.html,
diakses 30 Mei 2012).
Cahaya. 2008. Administrasi Masa Umar, (Online), (http://cahayamt.blogspot.com,
diakses 15 April 2012).
Chapra, M. Umar. 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi: Islamisasi
Ekonomi Kontemporer. Surabaya: Risalah Gusti.
Diana, Anastasia dan Lilis
Setiawati. 2009. Perpajakan Indonesia:
Konsep, Aplikasi dan Penuntun Praktis. Yogyakarta: C.V Andi Offset.
Djazuli, H. A. 2003. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat
dalam Rambu-Rambu Syari’ah. Bandung: Prenada Media.
Ekhardhi. 2010. Landasan Filosofis dan Asas-Asas Pemungutan Pajak, (Online), (http://ekhardhi.blogspot.com/2010/12/landasan-filosofis-dan-asas-asas.html,
diakses 22 Juni 2012).
Gusfahmi. 2007. Pajak Menurut Syariah. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Hafidhuddin, Didin. 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta:
Gema Insani.
Hasan, M. Ali. 1996. Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan
Lembaga Keuangan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Husain. 2010. Zakat Penghasilan Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak,
(Online), (http://risalah.fhunmul.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/2.-Zakat-Penghasilan-Sebagai-Pengurang-Penghasilan-Kena-Pajak-Safarni-Husain.pdf,
diakses 10 September 2012).
Ikatan
Akuntan Indonesia. 2009. Exprosure Draft
PSAK Syariah No. 109.
Ja’far, Muhammadiyah. 1997.
Tuntunan Praktis Ibadah Zakat Puasa dan
Haji. Cetakan ketiga. Jakarta Pusat: Kalam Mulia.
Kara, Muslimmin et al. 2009. Pengantar Ekonomi Islam. Makassar: Alauddin Pers.
Karim, Adiwarman Azwar.
2008. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Edisi
3. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Kurnia, Hikmat dan A.
Hidayat. 2008. Panduan Pintar Zakat. Jakarta:
Qultum Media.
Mannan, M. Abdul. 1997. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta:
PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Mardiasmo. 2009. Perpajakan. Edisi Revisi. Yogyakarta:
Andi.
Metwally, M. M. 1995. Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta:
PT. Bangkit Daya Insana.
Muhammad. 2009. Lembaga Ekonomi Mikro Syari’ah: Pergulatan
Melawan Kemiskinan dan Penetrasi Ekonomi Global. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Muhammad, Rifqi. 2008. Akuntansi Keuangan Syariah: Konsep dan
Implementasi PSAK Syariah. Yogyakarta: P3EI Press.
Mujahidin, Akhmad. 2007. Ekonomi Islam. Edisi 1. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Mofidrabbani. 2011. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa
Khulafaurrasyidin, (Online), (http://mofidrabbani.blogspot.com/2011/04/sistem-ekonomi-dan-fiskal-pada-masa_26.html,
diakses 15 April 2012).
Nasution, Mustafa Edwin et al. 2006. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Nurhayati, Sri dan Wasilah.
2009. Akuntansi Syari’ah di Indonesia. Jakarta:
Salemba Empat.
Nuruddin, Amiur. 2010. Dari Mana Sumber Hartamu: Renungan tentang
Bisnis Islami dan Ekonomi Syariah. Jakarta: Erlangga.
Ozha, Aulia Sandra. 2011. Pajak dan Zakat di Indonesia, (Online), http://auliasandra.wordpress.com/2011/05/28/pajak-dan-zakat-diIndonesia , diakses 15 April 2012).
Parwito, Andri. 2009.
Analisis Atas Pengaruh Pemanfaatan Sistem E-Filing Terhadap Cost of Compliance.
Tesis. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Departemen Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.
Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Ekonomi Islam. 2008. Ekonomi
Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Qardhawi, Yusuf. 1995. Kiat Islam Mengatasi Kemiskinan. Jakarta:
Gema Insani Press.
________. 2005. Spektrum Zakat: Dalam Membangun Ekonomi
Kerakyatan. Jakarta: Zikrul Hakim.
Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam. Terjemahan oleh
Nastangin Soeroyo. 1996. Yoyakarta:
PT. Dana Bhakti Wakaf.
Resmi, Siti. 2003. Perpajakan: Teori dan Kasus. Jakarta:
Salemba Empat.
Rifa’i, Moh. 1999. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: CV.
Toha Putra.
Sangadji, Etta Mamang dan
Sopiah. 2010. Metodologi Penelitian:
Pendekatan Praktis dalam Penelitian. Yogyakarta: C.V Andi Offset.
Sukardji, Untung. 2004. Pokok-Pokok Pajak Pertambahan Nilai
Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Suprayitno, Eko. 2005. Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro
Islam dan Konvensional. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Undang-Undang
Republika Indonesia No.38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.
Wahyu.
2010. Asal Muasal dan Sejarah Pajak, (Online),
(http://wahyumedia19.blogspot.com/2010/04/asal-muasal-pajak.html,
diakses, 22 Juni 2012).
Yolina, Meilani S. 2009. Dasar-Dasar Akuntansi Perpajakan.Yogyakarta:
Tabora Media.
http://ekonomikieta.blogspot.com/2009/05/sejarah-perpajakan-di-indonesia
secara.html, diakses 22 Juni 2012.
http://nasional.inilah.com/read/detail/1769621/menyelami-filosofi-zakat, diakses 22 Juni 2012.
http://jakarta45.wordpress.com/2009/07/19/sejarah-zakat-dari-zaman-pra-islam,
diakses 22 Juni 2012.
http:www.marhabanyamarhaban.wordpress.com/about/makalah/ali-bin-abi-tahlib, diakses 15 April 2012.
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/dakwah/10/12/24/154145-sejarah-awal-mula-kewajiban-zakat, diakses
22 Juni 2012.
No comments:
Post a Comment