PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN
(Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari interaksi antar sesama, dengan demikian kebutuhan kehidupan akan saling terpenuhi. Terkait dengan adanya interaksi dapat menimbulkan permasalahan dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini hukum mempunyai peranan yang sangat penting. Terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang rapi dan aman tentunya tidak terlepas dari kerjasma yang baik antara para penegak hukum dan masyarakat yaitu dengan cara mentaati suatu kaidah peraturan hukum yang sudah ada dan tidak melanggarnya. Hukum bukanlah semata-mata sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja, melainkan untuk dilaksanakan dan ditaati. Aturan hukum menurut fungsinya dapat dibedakan menjadi dua yakni hukum materill dan hukum formil. Aturan hukum materill adalah aturanaturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang membebani hak dan kewajiban atau mengatur hubungan hukum atau orang-orang sedangkan aturan hukum formil adalah aturan hukum untuk melaksanakan dan mempertahankan yang ada atau melindungi hak perorangan. Hukum materill sebagaimana terjelma dalam undang- undang atau yang bersifat tidak tertulis merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat dalam masyarakat. Adapun dalam pelaksanaan hukum materill sering kali terjadi pelanggaran-pelanggaran atau hak materill tersebut dilanggar sehingga menimbulkan ketidak seimbangan kepentingan dalam masyarakat, atau menimbulkan kerugian pada orang lain atau pihak lain. Pelaksanakan hukum materill perdata terutama dalam hal ada pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materill perdata dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan-peraturan hukum lain. Peraturan-peraturan hukum lain yang dimaksud adalah hukum formil (hukum acara perdata) atau adjective law. Hukum acara perdata hanya diperuntukan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil dan di samping itu juga berfungsi untuk merealisir pelaksaan dari hukum perdata.
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim, jadi hukum acara perdata dapat dikatakan peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Konkritnya bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari pada putusannya. Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” (main hakim sendiri). Tindakan menghakimi sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Tindakan menghakimi sendiri ini tidak dibenarkan dalam hal kita hendak memperjuangkan atau melaksanakan hak kita.
Suatu putusan hakim itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang, agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki, setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekliruan dalam suatu putusan.
Upaya hukum dapat dilakukan oleh salah satu pihak yang merasa putusan Pengadilan kurang sesuai dengan yang diharapkan sehingga menurut tujuan dari upaya hukum yaitu untuk memohon membatalkan putusan Pengadilan ditingkat yang lebih rendah kepada Pengadilan yang lebih tinggi.4 Hukum acara perdata mengenal adanya upaya hukum yang diberikan oleh undangundang kepada subyek hukum sebagaimana tertuang dalam pasal 132 HIR
(Herzein Indonesis Reglement) yang menyebutkan: “Jika dianggap perlu oleh ketua, yaitu supaya jalannya perkara baik dan teratur, maka pada waktu memeriksa perkara, ia berhak untuk memberikan nasihat kepada kedua belah pihak dan untuk menunjukan upaya hukum dan keterangan kepada mereka yang boleh dipergunakan”.
2 Ibid, hal. 2.
3 Ibid, hal. 232.
4 Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, cetakan ketiga revisi, Citra Aditya Bakti, 2002, Bandung, hal.214. pengadilan niaga dengan peradilan negeri. Berdasarkan cetak biru pengadilan niaga, maka terungkap bahwa sebenarnya proses kepailitan di pengadilan niaga tidak efektif. Hal ini terjadi, karena sering kali ada perkara-perkara kepailitan yang ternyata menimbulkan persinggungan antara pengadilan negeri dengan pengadilan niaga. Persinggungan ini terjadi, misalnya saja ada perusahaan yang sudah dinyatakan pailit dan seharusnya berdasarkan undang-undang kepailitan dikelola oleh kurator, ternyata masih bisa mengajukan gugatan ke pengadilan negeri. Hal ini dianggap aneh karena seharusnya, perkara tersebut menjadi kompetensi Pengadilan Niaga dan bukan Pengadilan Negeri.
Adapun untuk mencegah terjadi persinggunagn perlu ada mekanismenya. Pasalanya, selama ini bila ada perkara-perkara kepailitan dan HAKI yang diajukan ke pengadilan negeri tidak ada mekanisme pencegahannya. Berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, hakim tidak boleh mneolak perkara dengan alasan tidak ada dasar hukumnya, selain menangani perkara kepailitan dan PKPU,
serta perkara-perkara di bidang perniagaan lainnya, pengadilan niaga berwenang menangani perkara permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat kalusula Arbitrase. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 303 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004
yang menentukan bahwa:“Pengadilan berwenang memeriksa dan menyelesaikan
Permohonan Pernyataan Pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat kalusula Arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telahmemnuhi ketentuan sebagiaman yang dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang ini”. Penjelasan Pasal 303 kembali menegaskan tentang kewenangan Pengadilan Niaga terhadap perjanjian yang memuat klausula Arbitrase, yaitu bahwa ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utang piuatang yang mereka buat memuat klausula Arbitrase. Pada tanggal 18 Agustus 1999, keluarlah PP Nomor 97 Tahun 1999 tentang Pembentukan Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang PP Nomor 97 Tahun 1999 dalam Pasal 1 menetukan: “Membentuk Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang.” Pasal 2 menetukan tentang wilayah hukum PengadilanNiaga yang meliputi:
(1) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri ujung Pandang meliputi Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian
Jaya.
(2) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi: Wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah Istimewa Aceh.
(3) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi: Wilayah Propinsi Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur.
(4) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi: Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istemewa Yogyakarta.
Selanjutnya Pasal 4 menentukan tentang sengketa yang menjadi kewenangan Pengadilan Niaga meliputi:
(1) Sengketa di bidang perniagaan yang termasuk lingkupkewenangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat Keputusan Presiden ini ditetapkan telah diperiksa tetapi belum diputus oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akan tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
(2) Sengketa di bidang perniagaan yang termasuk lingkup kewenangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri,sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat Keputusan Presiden ditetapkan telah diajukan tetapi belum diperiksa oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
dilimpahkan kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang sesuai dengan daerah
hukum masing-masing Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.Khusus untuk Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Pasal 5 menentukan tentang daerah hukumnya, yakni pada saat berlakunya
Keputusan Presiden ini, maka daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meliputi Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Propinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung,
dan Kalimantan Barat. Hakim pengadilan niaga diangkat berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung. Syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai hakim sebagai hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah:
a. Telah berpengalaman sebagai Hakim dalam lingkungan Peradilan Umum;
b. Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup keenangan Pengadilan;
c. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
d. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai
No comments:
Post a Comment